(62)Jeffry yang berubah

158 12 0
                                    

Jangan lupa vote terlebih dahulu

Waktu berjalan begitu cepat. Waktu berjalan tanpa kompromi. Waktu berjalan tidak pernah meminta persetujuan dari manusia, padahal belum tentu manusia mampu melewati waktu. Seperti Jeffry contohnya. Jeffry tidak mampu melewati waktu. Jeffry ingin waktu berhenti sampai disini, agar dirinya bisa menjadi tenang, tidak capek, dan tidak lelah.

Dua hari telah Jeffry lalui dengan penuh perjuangan untuk terlihat biasa saja. Jeffry bersikap seolah tidak ada apa-apa didepan sang Mama, tapi ketika sendiri pria itu terus menangis.

Hari ini Jeffry mulai mengajar, setelah dua hari tidak masuk. Jeffry merasa belum siap untuk bertemu dengan murid yang bernama Alena Wanda Amira. Bukan takut, tapi ketika ingat nama itu, ketika melihat wajah gadis itu, semuanya kembali telintas diotak Jeffry, membuat Jeffry ingin menangis. Kalau boleh jujur, Jeffry begitu dendam kepada Alena. Karena bundanya adalah perusak keluarga Jeffry. Kebahagian itu harusnya milik Jeffry, tapi direnggut oleh bunda Alena, dan Alena lah yang menikmatinya. Seharusnya Alena lah yang harus hidup tanpa seorang Papa, bukan Jeffry.

Tapi Jeffry sekarang sedikit merasa lega, karena mungkin besok atau lusa tugas ia menjadi guru pl telah usai. Hari ini adalah praktek penilaiannya sebagai guru pl. Setelah selesai, Jeffry akan kembali kuliah. Dan kembali ke kontrakannya bersama sang Mama, bukan dikota ini. Jeffry akan tenang disana. Kota ini terlalu banyak memberikan masalah untuk Jeffry.

Jeffry menyeka wajahnya yang berkeringat, pagi-pagi ia sudah dimarahi oleh pak Anton, mambuat dirinya mengeluarkan keringat. Jeffry dimarahi bukan tanpa alasan, tapi karena pria itu dua hari belakangan ini tidak ke sekolah. Padahal ia diwajibkan setiap hari kesekolah, walau tidak ada kelas yang ia ajar.

Jeffry menghela nafas, untuk prakteknya nanti Pak Anton menyuruhnya untuk mengajar dikelas sebelas ips satu, dengan materi senam lantai. Jeffry tidak mempermasalahkan tentang kelas, tapi Jeffry mempermasalahkan tentang materinya. Banyak murid yang ogah-ogahan melakukan itu, terlebih yang cewek. Ketika latihan materi ini pun, banyak yang tidak ingin mencoba. Tapi sayangnya Pak Anton tetap kekeh, membuat Jeffry mau tidak mau harus menerimanya.

Dengan reflek Jeffry menghentikan langkahnya, ketika berselisih dengan Audrey. Jeffry hendak menoleh, tapi ia sadar mereka sudah putus. Gadis itu menghianatinya. Jeffry mencoba untuk mengendalikan dirinya, berusaha untuk tenang walau hatinya tengah remuk.

"Ada yang lagi marahan tuh. "

Jeffry menoleh kesumber suara, mendapati Rifal dan Tono yang tengah meledek dirinya. Sudut mata Jeffry melihat ke Audrey, memastikan gadis itu sudah pergi atau belum. Audrey sudah pergi. "Nanti bapak praktek dikelas kalian, bapak mohon kerja samanya. " Jeffry sengaja menekankan ucapanmya pada kata mohon.

"Lah? Dia minta kerja sama? " ucap Rifal lebai, melihat kearah Tono. "Ya...mana biiisaaa. "

"Ntar pas bapak ngajar, bapak tenang aja. Kita bakal ribut, kita nggak bakal nurut," ucap Tono dengan nada yang ia buat-buat.

Jeffry ingin menangis, melihat dua orang ini saja Jeffry sudah pesimis duluan. Jangan sampai mereka bertingkah aneh nanti, bisa-bisa nilai praktek Jeffry rendah. "Ini terakhir bapak ngajar kalian lho... Kenapa sih kalian dari dulu seakan dendam gitu ke bapak? " tanya Jeffry baik-baik, entah kenapa ia tertarik berbicara dengan dua pria tidak jelas ini.

Rifal merangkul pundak Tono. "Dia sok akrab sama kita, Ton. Dikira kita peduli apa," ucap Rifal dibalas anggukan semangat oleh Tono. Lalu mereka berlalu begitu saja.

Jeffry mengumpat, ingin melempari punggung pria itu menggunakan batu. Merasa sungguh menyesal mengajak dua pria itu untuk berbicara.

Jeffry ingin melangkahkan kaki, tapi terurungkan oleh seseorang yang menyebut namanya itu.

Jeffry membalilkan badannya, mendapati gadis mungil dengan tangan memegang kotak bekal. Jeffry tersenyum, dalam keadaan seperti ini bisa-bisanya gadis itu seperti ini.
Jeffry pikir karena semua itu, gadis ini akan berhenti.

"Ini dari Papa, Papa yang nyuruh aku buat ngasih ini," ucap Alena tenang, dengan ekspresi jauh berbeda dari sebelumnya. Sebenarnya Alena takut untuk bertemu Jeffry, tapi ia dipaksa untuk memberikan ini.

"Itu terlalu hina, nggak pantas buat gue, " ucap Jeffry tenang, dengan tangan masuk kedalam saku.

Sekarang gadis itu terlihat begitu menjijikan untuk Jeffry.

Alena awalnya mendelik, tapi cepat-cepat ia mengubah ekspresinya menjadi tenang. Alena mengangguk. "Yaudah. Oh Iya, Papa--"

"Lo nggak malu manggil pria itu dengan sebutan Papa didepan gue? Itu sebenarnya punya gue. Kebahagiaan lo itu sebenarnya milik gue." Tiba-tiba dada Jeffry jadi sesak, Dadanya kembali merasa sakit. "Lo nggak malu buat ketemu sama gue? O iya." Jeffry tersenyum miring. "Lo 'kan nggak punya malu, ngejar-ngejar sampai ngungkapin perasaan ke gurunya sendiri. Lo sama nyokap itu sama-sama aja. Kalian itu nggak jauh beda dari penggoda." Jeffry tampak tenang mengucapkan kata-kata kasar itu. Jeffry hanya mengeluarkan apa yang tersimpan didalam hatinya, dan apa yang ia rasa. "Satu lagi, lo sama nyokap lo itu emang perusak. Nyokap lo ngerusak keluarga gue. Dan lo, selalu buat gue nggak nyaman. Lo ngebuat tersiksa disekolah ini. "

Alena meneguk ludahnya, Alena ingin menangis, tapi ia mencoba untuk menahannya. Alena sudah tahu yang sebenarnya. Jeffry yang tidak tahu apa-apa. "Bapak itu nggak tau apa-apa!" ucap Alena sedikit membentak.

Jeffry mengedikkan bahunya, lalu tersenyum miris. "iya gue nggak tau apa-apa, tapi gue tau nyokap lo itu perusak. Itu udah cukup buat gue. "

Dengan cepat Alena menghapus air matanya yang jatuh. Kata-kata Jeffry begitu menyakitkan. Alena ingin cepat-cepat pergi dari sini. "Datang kerumah sakit, dan temuin Papa. Papa butuh Bapak. "

Jeffry menyerngit. "Butuh? Butuh yang jagain masksudnya? " Jeffry terkekeh, sangat jelas itu hinaan. "Kenapa nggak lo aja yang jagain, atau Mama lo. 'Kan selama ini yang makan hartanya lo dan nyokap lo. So, kenapa harus gue? " Jeffry mengangkat alisnya. "Atau karena dia udah sakit, kalian ngasih dia kembali ke gue? " Jeffry terkekeh, sambil menepuk bahu Alena. "Sorry ya, gue nggak mau. Ambil aja. Lagian kasian juga nyokap lo, kan udah susah payah ngengoda Papa gue, 'kan sayang kalau gue ambil lagi." Jeffry tertawa kecil, lalu berlalu begitu saja.

Alena menghapus air matanya yang jatuh. Kata-kata Jeffry begitu menyakitkan. Jeffry itu sudah salah, pria itu terjebak dalam opininya sendiri.

  

Gimana? Jangan lupa tinggalin komen, ya


Alena (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang