Jangan lupa vote duluuu
Hari sudah pagi. Sinar terik pagi menembus tirai pintu, membuat mata Laras terasa sakit. Laras mendesah pelan, ingin merubah posisi tidur. Tapi dirinya sedikit tersentak, menyadari Jeffry tengah tidur dengan menggenggam tangannya.
Jeffry tidur diatas kursi dengan pipi yang ia tumpukan ke pinggir ranjang. Tangan pria itu menggenggam tangan sang Mama.
Sebelah tangan Laras menggapai kepala Jeffry, mengelus lembut rambut hitam pekat Jeffry. Laras merasa bersalah, Jeffry menderita seperti ini bukan kerena sang suami tapi karena dirinya sendiri.
Laras ingin mengatakan yang sebenarnya, Laras ingin menceritakan yang sebenarnya. Tapi Laras belum siap, ia memilih untuk egois.
Karena ulahnya, Jeffry lah yang menanggung kesakitan. Di usia seperti ini seharusnya Jeffry masih bercanda tawa dengan sahabat-sahabatnya. Tapi Jeffry memilih untuk dewasa, meninggalkan sahabatnya karena memang tidak ada waktu untuk berkumpul. Jeffry kuliah sambil bekerja, tentu ia begitu sibuk, tidak sempat untuk berkumpul.
Pemuda seusai Jeffry seharusnya masih tertawa lepas, tidak seperti Jeffry. Tanggung jawab besar tertumpu dipundaknya, membuat dirinya meninggalkan kesenangan yang dipenuhi gelak tawa itu. Untuk tertawa lepas saja kini Jeffry tidak bisa. Jeffry sudah lupa bagaimana caranya untuk tertawa lepas, bahkan tersenyum. Itu semua karena Laras, Laras mengakuinya.
Air mata kesedihan itu keluar karena ulah Laras, bukan karena sang Papa.
Papa Jeffry adalah orang yang paling baik, hanya saja Jeffry belum mengetahuinya.
Perlahan Jeffry membuka matanya, ia tersenyum ternyata ia masih bisa melihat sang Mama. "Ma..." Jeffry jadi terkekeh. "Jeffry ketiduran, " ucap Jeffry sambil mengucek matanya, melihat kearah jam dinding sekilas.
Laras tersenyum, tidak tahu ingin berkata apa.
Keduanya menoleh kearah pintu, ketika ada yang membukanya. "Mending lo pulang deh, Jef. " ucap Rindu berjalan mendekat. "Biar gue yang jagain Tante."
Jeffry menoleh ke sang Mama, seakan meminta izin. Entah kenapa Jeffry ingin pulang sebentar, untuk sekedar mandi. "Nggak apa-apa? " kali ini Jeffry bertanya kepada Rindu.
Rindu mengangguk. "Sekalian lo makan dirumah, ya. Udah gue siapin, buat Tante udah gue bawaiin, " jawab Rindu panjang lebar, membuat Jeffry tertegun.
"Lo baik banget, sampe nyiapin buat gue segala, " ucap Jeffry terkekeh, tapi Rindu tampak acuh saja.
Jeffry pergi tidak lupa ia mencium kening sang Mama.
**
Jeffry masuk kedalam rumahnya. Pria itu menghela nafas panjang, menyeka wajah menggunakan telapak tangan. Jeffry berjalan kearah ruangan keluarga. Jeffry mengerjap, hatinya terasa tertegun ketika mengingat ruangan ini. Ruangan yang dulunya penuh dengan kebahagian. Ruangan ini adalah saksi, dimana Jeffry pernah bermanja-manja dengan kedua orang tuanya. Menceritakan hal-hal yang gembira sampai ke keluh kesah yang Jeffry alami disekolah.
Jeffry duduk disofa, sambil menyalakan televisi. Jeffry ingat, dulu ia pernah ribut ringan dengan sang Papa karena remot tv, dan sang Mama-lah yang jadi penengah. Entah kenapa Jeffry tersenyum kecil mengingat itu. Dulu keluarga Jeffry adalah keluarga yang paling bahagia. Tapi apa gunanya, jika kebahagian itu tidak bertahan lama. Badai seakan datang secara tiba-tiba, menghancurkan semuanya. Membuat dirinya dan sang Mama menderita, karena ulah sang Papa, menurut Jeffry.
Jeffry menghela nafas berat, matanya jadi sendu. Jeffry ingin seperti dulu lagi, Jeffry merindukan semuanya. Jeffry merindukan gelak tawa. Tidak apa hidup sederhana, asal gelak tawa penuh kehangatan itu masih ada.
Semenjak badai itu datang, senyumanpun sangat jarang terukir dibibir Jeffry. Membuat Jeffry jadi sosok pria yang pendiam, dingin, dan tidak mudah bercanda. Padahal dulu dirinya begitu pencicilan, tertawa terbahak-bahak adalah hobinya dulu. Tapi mungkin sekarang Jeffry sudah tidak tahu bagaimana caranya tertawa terbahak-bahak.
Jeffry ingin tersenyum dengan keadaan hati yang hangat, bukan dengan keadaan hati yang sakit. Jeffry ingin tertawa lepas, Jeffry capek begini terus.
Jeffry tersadar dari lamunannya, ketika mendengar notifikasi dari ponsel. Jeffry merogoh ponsel dari saku celana. Jeffry jadi menyerngit, ketika membaca pesan singkat yang masuk. Pesan dari nomor yang tidak dikenal, tapi Jeffry tahu siapa pengirimnya.
Jeffry tidak minat membaca pesan singkat yang tidak bermutu itu, Jeffry memilih untuk mematikan ponselnya. Jeffry meletakkan ponsel diatas sofa, tepatnya disamping dirinya. Jeffry kembali menghela nafas berat, sedikit membungkuk, dan menutupi wajah dengan telapak tangan.
Jeffry sebenarnya merindukan sang Papa. Jeffry sebenarnya peduli dengan keadaan sang Papa. Jeffry sebenarnya sayang terhadap sang Papa, sangat sayang. Sejak kejadian itu Jeffry berusaha untuk tidak mengingat sang Papa. Tapi ia tidak bisa. Hatinya selalu menanyakan bagaimana sang Papa. Kaki Jeffry selalu memberontak, agar ia dilangkahkan kerumah sakit untuk melihat sang Papa. Tapi Jeffry menahan semuanya, rasanya sakit memang. Tapi untuk apa kita memperdulikan orang yang telah menyakiti kita?
Jeffry melirik ponselnya. Selama ini Jeffry belum mendengar penjelasan dari sang Papa. Apasalahnya ia mendengarkan penjelasan dari sang Papa sekali saja?
Dengan cepat Jeffry menjangkau ponselnya.
0852xxxxxxxx : Jeffry, ini Papa nak. Maaf Papa udah lancang nguhubungin kamu. Maaf Papa udah ganggu kamu. Papa dapat nomor kamu dari alena.
0852xxxxxxxx: Buat Jeffry, anak Papa, kalau kamu nggak mau denger penjelasan dari Papa langsung...Papa mohon sama kamu, baca ini sampai selesai ya?
0852xxxxxxxx: Jef, kamu nggak tau yang sebenarnya terjadi. Papa akan jelasin semuanya, tapi kamu harus janji, kamu nggak bakal marah sama Mama, ya?
0852xxxxxxxx: Sayang...Papa nggak selingkuh. Pertengkaram hebat itu terjadi karena Mama kamu minta pisah sama Papa, karena dia mau nikah sama pria lain. Mama kamu mau ninggalin Papa dan Kamu. Papa nggak mau sayang, karena papa tau kamu bakal sedih kalau mama pergi. Tapi mama tetap kekeh buat pergi, dan papa tetap nggak ngizinin. Papa udah berusaha buat nahan Mama, tapi Papa gagal. Mama pergi kerumah pria itu, tapi saat diperjalanan mama kecelakaan, dan mama hilang ingatan.
Dalam kejadian itu kamu nyalahin Papa. Papa benar-benar terpukul mendengar mama kecelakaan, ditambah lagi kamu nyalahin papa.0852xxxxxxxx: kamu pergi bersama Mama, ninggalin papa sendiri. Papa udah nyari kamu dimana-mana, tapi nggak ketemu. Papa udah nanya2, tapi nggk ada yang tahu. Dan nomor Papa malah kamu diblokir.
0852xxxxxxxx: Pada saat papa nyari kamu, papa nggak sengaja nambrak orang dan meninggal. Orang itu Papa kandung Alena. Alena dan bundanya benar-benar merasa terpukul. Karena rasa bersalah papa menikahi bunda Alena, untuk menggatikan posisi ayah Alena yang udah papa tabrak. Tapi berjalannya waktu perasaan itu tumbuh, kami jadi saling mencintai. Tapi kamu harus percaya Jeffry, papa nggak pernah ngelupain kamu. Papa selalu nyari kamu bersama Bunda Alena.
0852xxxxxxxx: Papa nggak peduli kamu percaya atau enggak...tapi yang jelas Papa udah jujur sama kamu. Satu permintaan Papa buat kamu, kamu kesini ya, nak? Jengukin papa, sekali aja. Papa kangen sama kamu, papa pengen ngeliat wajah kamu. Tapi kalau kamu nggak bisa, biar papa yang nemuin kamu nanti, pas Papa udah pulih. Kamu masih tinggal dirumah kita 'kan? Papa kalau udah sembuh boleh kesana 'kan Jeffry?
Jeffry terpaku ditempat, dirinya serasa ditembak ketika membaca pesan dari sang Papa. Jeffry tidak tahu ini benar atau tidak, tapi hatinya seakan mengatakan kalau sang Papa tidak berhohong. Kata-kata itu membuat Jeffry tertegun dan berderai air mata.
Lah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Alena (END)
Teen FictionJeffry itu seorang guru PL, tentu umurnya dengan Alena terpaut jauh, tapi Alena tetap mencintainya. Jeffry itu sering marah, suka membentak, dingin, dan Alena masih tetap mencintainya. Kurang tulus apalagi cinta Alena terhadap pria itu? Alena selal...