Sebelum membaca jangan lupa vote ya~
Jeffry mendongak, tanpa ia sadari sudah tiga jam ia tertidur di kursi panjang trotoar. Jeffry menarik rambutnya frustasi, ia menunduk sambil berdoa, meminta ke tuhan agar yang tadi itu hanyalah mimpi. Walau Jeffry sadar, kejadian tiga jam yang lalu itu nyata. Tapi Jeffry akan menganggapnya tidak ada. Jeffry akan menghapus kejadian tadi dari memorinya. Jeffry akan berusaha bersikap seperti biasa.
Jeffry menghela nafas berat, lalu menghapus sisa-sisa air mata yang ada. Jeffry berjalan melewati trotoar dengan langkah gontai. Mungkin orang-orang yang melihatnya, akan mengira ia orang gila.
Didalam hati Jeffry mengumpat, dirinya tidak pernah berhenti mengabsen nama binatang. Air mata kembali mengalir, ketika memori tentang kejadian tadi terlintas diotaknya. Jeffry tidak tahu keadaan sang Papa sekarang. Jeffry pergi, seakan tidak peduli dan tidak akan pernah peduli. Pria brengsek itu pantas mendapatkan itu semua.
Jeffry menyandarkan tubuhnya ke pembatas jembatan. Jeffry berteriak, diakhiri dengan isakan tangis. Jeffry berharap hujan turun, untuk menyamarkan suara dan air matanya.
Jeffry sudah tidak sanggup. Tenaga Jeffry sudah habis untuk melewati cobaan selanjutnya. Jeffry ingin mati saja.
Senyuman yang penuh dengan kesakitan terukir dibibir Jeffry, mata pria itu memandang ke bawah jembatan. Perlahan sebelah kaki Jeffry mencoba untuk menaiki pembatas Jembatan itu, lalu ia akan menjatuhkan tubuhnya ke bawah.
Tapi seketika ada yang menahan tangannya. Orang itu menarik tubuh Jeffry yang lemah. "Dek, jangan bunuh diri disini. Disini tempat jualan saya, saya nggak mau tempat ini jadi angker, " ciloteh bapak-bapak penjual batagor itu. "Cari tempat lain aja. "
Jeffry tersenyum miring, lalu menepuk bahu penjual batagor itu. "Iya, " jawab Jeffry lemah, lalu pria itu kembali berjalan dengan gontai.
Penjual batagor itu menggaruk-garuk tekuknya yang tidak gatal, lalu kembali berjalan kearah dagangannya yang tidak jauh dari sana. "Kasian banget. Padahal masih muda, ganteng lagi, tapi udah gila. Kenapa, ya? " tanya penjual batagor itu kesalah satu pembalinya.
"Gila abis putus cinta kali, " jawabnya terlihat tidak peduli.
Kaki Jeffry terasa lelah berjalan tanpa tujuan. Tenggorakannya kering dan terasa perih. Jeffry menyeka rambut yang menutupi wajahnya. Jeffry berjalan kearah penjual kaki lima, untuk membeli air minum. Tapi seketika kening Jeffry mengkerut ketika melihat sosok familiar baginya.
"Jeffry." Audrey tampak terkejut, ia berdiri dan meletakkan baksonya ke bangku yang ia duduki tadi. Dengan mata besar Audrey melihat Jeffry dari atas sampai bawah. "Jeffry kamu kenapa? " tanya Audrey memegang kedua bahu Jeffry.
Jeffry tersenyum miring. "Itu siapa? " tanya pria dingin, menunjuk seorang pria yang tengah makan bakso, ia duduk disamping Audrey tadi.
Audrey menoleh cepat ke pria itu. Audrey tampak gelisah sekaligus bingung. "Itu--"
Menyadari ia ditunjuk oleh Jeffry, pria itu bingung. Ia berniat untuk mendekat. "Sayang, ini temen kamu? " tanya pria itu, berdiri disamping Audrey.
Jeffry membeku, ia serasa ditembak oleh kalimat pria itu. "Kita putus, Au," ucap Jeffry lambat, tapi terasa menyayat.
Luka Jeffry karena ulah sang Papa belum sembuh, dan kini Audrey memberikan luka yang baru untuk Jeffry. Jeffry tidak tahu harus senang atau sedih, karena tuhan telah memperlihatkan yang mana yang penghianat. Tapi Jeffry juga tidak sanggup, tuhan memperlihatkan semuanya secara sekaligus. Kenapa tidak secara perlahan saja? Atau kenapa harus dirinya yang dikelilingi oleh penghianat?
Tadi Jeffry berjalan gontai, sekarang Jeffry berlari. Berlari sekencang-kencang, sesekali pria itu berteriak di akhiri oleh isakan tangis yang kencang.
Suara petir menyambar, Jeffry berharap petir itu dapat membunuh dirinya. Lalu beberapa detik kemudian, hujan lebat turun, bersamaan dengan suara petir yang menggelega.
Jeffry menangis sekencang-kencang, mengeluarkan semua emosi yang ia simpan selama ini. Mengeluarkan rasa sakit yang ia simpan dalam bentuk teriakkan.
Jeffry benci, Jeffry benci semua orang. Semua itu jahat. Orang-orang itu hanya memikirkan dirinya sendiri. Orang-orang itu tidak tahu bagaimana sedihnya Jeffry.
Jeffry terduduk lemah, ia menarik rambutnya yang basah dengan frustasi. Jeffry mendongak, mengabaikan matanya yang perih karena derasnya air hujan. "Gue nggak sanggup lagi..." lirih Jeffry meremas kuat bajunya. "Gue nggak sanggup." Jeffry terisak, sambil menundukkan kepalanya. "Rasanya sakit tuhan." Jeffry memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. "Kenapa orang yang gue sayang pergi...kenapa Papa gue selingkuh... Kenapa Audrey selingkuh..." Jeffry terus saja menangis, ditemani hujan dan suara petir yang menggelega. "Kenapa gue harus kehilangan mereka? " lirih Jeffry, lagi.
Jeffry terus melirih, melontarkan semua rasa sakit yang ada didalam hatinya. Tidak ada yang mendengarkannya, tidak ada yang memperdulikannya. Semua orang yang ada disekitar menganggap Jeffry sebagai orang gila. "Gue butuh lo Rindu..." lirih Jeffry diakhiri dengan isakan tangis.
Jeffry terus menangis, sambil berharap hujan tidak berhenti, agar bisa menemani kesedihannya malam ini.
Sekarang Jeffry menangis dibawah lebatnya hujan. Mungkin besok, atau lusa, atau beberapa bulan lagi, Jeffry akan tertawa lepas dibawah cerahnya sinar matahari.
Masa itu akan ada, maka bersabarlah. Sabar adalah jalan untuk menuju kebahagian.
Apa yg mau kalian sampaiin?
KAMU SEDANG MEMBACA
Alena (END)
Teen FictionJeffry itu seorang guru PL, tentu umurnya dengan Alena terpaut jauh, tapi Alena tetap mencintainya. Jeffry itu sering marah, suka membentak, dingin, dan Alena masih tetap mencintainya. Kurang tulus apalagi cinta Alena terhadap pria itu? Alena selal...