PL 16.

782 54 3
                                    









°Happy Reading°





***

"Kalian ini. Niat kerja atau nggak!" sentak seorang pria paruh baya yang masih terlihat gagah, melempar map berwarna biru kearah dua orang di depannya, membuat semua berkas berserakan di lantai.

"Kalian saya bayar untuk bekerja! Bukan untuk man-main." lanjutnya lagi.

"Kalau seperti ini terus. Perusahaan kita akan benar-benar gulung tikar. Saya gaji kalian untuk memperbaiki perusahaan agar bisa mencapai target!"

"Tapi apa. kita justru rugi! Hah!" bentaknya sangat kencang memenuhi ruangan itu.

Dua orang yang terdiri dari laki-laki dan satu perempuan, hanya mampu menunduk takut. Mereka tidak berani menatap bos besar mereka yang sedang marah besar.

"Keluar! Sebelum saya bunuh kalian di sini!" tanpa di suruh dua kali mereka segera keluar dengan langkah besar dan terburu-buru.

Pria paruh baya itu duduk, melepaskan kaca mata ya ia kenakan lalu memijit pangkal hidung meredakan pusing yang dia rasakan.

Pria berjas biru dongker itu meraih telepon yang ada di mejanya. "Segera buat jadwal terbaru. Saya ingin segera bertemu dengan dia." setelah mendengar jawaban dari sekretarisnya ia menutup teleponnya.

Alvaro menghela napas melihat istrinya yang akhir-akhir ini menjadi pediam. Ia menghampiri Dinar yang duduk sendiri di ruang tamu.

Dinar tersenyum tipis saat Alvaro menghampirinya, Al duduk di sampingnya tanpa mengalihkan pandangan dari Dinar yang seperti menghindar kotak mata dengannya.

"Aku minta maaf. sampai saat ini aku belum bisa tepatin janji aku, untuk bisa menemukan Ayah." Alvaro menghentikan ucapannya sekejap menarik napas panjang.

"Aku lihat kamu sekarang berubah pendiam, susah makan. Suka menyendiri! Aku tau kamu khawatir sama Ayah, tapi nggak gini caranya sayang." tekan Al. Ia menunduk menatap lantai.

"Kamu juga sekarang jarang ngurus Khansa, kasihan dia setiap nangis cari Ibunya, tapi kamu cuek. Bahkan dia mau main sama kamu. Justru kamu tinggal." Dinar tertegun, benar apa yang di katakan Alvaro.

Beberapa hari ini ia cuek bahkan seakan tidak peduli dengan anaknya, Dinar menunduk menangis tersedu. "Ak-aku minta maaf," sebenarnya Alvaro ingin marah. Namun ia tidak bisa jika membiarkan istrinya menangis seperti itu.

"Aku nggak masalah jika kamu khawatir sama Ayah, tapi aku mohon kamu jangan lampiaskan ke anak kita, dia masih terlalu kecil untuk mengerti keadaan ini. Jadilah Ibu seperti dulu yang selalu menyayangi anaknya." Dinar memeluk Alvaro erat bibirnya tidak henti meminta maaf.

"Aku minta maaf Al," Alvaro menghela napas panjang menganggukkan kepalanya pelan mencium puncak rambut Dinar.

Dinar menghampiri anaknya yang ada di kamar, Khansa berada di dalam box bayi bermain sendiri di sana. Dinar menggendong lalu mencium seluruh wajah bayi tersebut.

"Maafin Mama ya sayang," Dinar masih mencium pipi anaknya dengan derai air mata

Bayi yang belum ginap setahun itu. mengoceh tidak jelas, memperhatikan sang Mama yang masih menangis. tangan Khansa naik seolah mengusap air mata di pipi Dinar. Membuatnya makin terisak meminta maaf.

Dinar tersentak saat ia merasakan usapan dan rengkuhan di tubuhnya, ia adalah Alvaro yang menyusul Dinar ke kamar, Al terharu melihat moment antara istri dan anaknya. Sungguh ia sangat menyayangi keduanya.

Perfect love (Alvaro season 2) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang