Bab 39

7.8K 367 54
                                    

Winda membereskan semua barangnya di kubikel dengan dikerubungi oleh rekan-rekan kerjanya. Winda menghentikan kegiatannya setelah memastikan tak ada lagi barang yang tertinggal. Wanita itu menatap rekan-rekannya.

"Ini pada kenapa di sini?" tanya Winda dengan heran.

"Lo serius mau resign? Nggak bisa ditunda dulu?" Yeska berusaha menahan Winda agar mengurungkan niatnya.

Winda terkekeh. "Udah diacc, Mas. Besok aku udah nggak masuk, jadi jangan pada kangen aku ya, Mbak-Mbak dan Mas!"

"Lo kok nggak bilang-bilang ke kita sih, Win kalau resign. Sejak kapan lo ngajuinnya?" tanya Arinda penasaran.

Winda tersenyum. Ia sebenarnya tak rela meninggalkan kantornya dan rekan-rekan kerja yang menyenangkan. Winda sebenarnya sudah nyaman berada di lingkungan ini, tapi dia harus mengambil jalan ini agar bisa benar-benar lepas dari bayang-bayang Arka.

Percuma saja jika ia tetap di sini dan akan sering bertemu Arka, ia begini bukan berarti lemah, ia hanya ingin mencari jalan yang lebih mudah dengan menjauh. Ia juga tak lari dari msalah, ia telah menyelesaikannya dan dia bisa memilih jalan menjauh untuk melupa dan mencari jati diri baru dengan kebahagiaan yang lama tak ia cicipi.

"Aku udah ngajuin sejak seminggu lalu, Mbak. Dan kebetulan pekerjaan akhir-akhir ini lagi nggak banyak, jadi bisa langsung acc." Winda berujar dengan menampilkan senyum lebarnya.

Meisya sedari tadi hanya diam. Dia jelas orang yang paling kehilangan di antara yang lain karena ia mendapat teman di kantoryang paling cocok adalah Winda. Dia sudah merasa dekat dan nyaman dengan keberadaan Winda.

"Lo ada masalah apa sih, Win?" tanya Dyah setelah sekian lama hanya menjadi pendengar. "Lo nggak nyaman sama kita?"

Winda menggeleng. "Aku nyaman di sini, aku senang bisa kenal sama kalian semua dan sebenarnya aku nggak rela, tapi aku harus mengambil keputusan ini karena masalah sama diriku sendiri, Mbak."

"Win, masalah itu ada untuk diselesaikan bukan malah kabur," ujar Rindu mencoba memberi nasihat.

Winda menggeleng. "Aku udah nyelesain masalah aku, Mbak. Kini tinggal menuntaskan semua dan melupakan apa yang pernah terjadi dengan hidup baru."

Rindu mengangguk. "Tapi dengan hidup baru pasti akan ada masalah baru yang akan dihadapi, Win."

Winda tersenyum tulus. "Ya aku tahu konsekuensinya, hidup nggak akan lepas dari masalah, setidaknya setelah masalah ini terselesaikan, masalah yang akan aku hadapi nggak terus berpusat di masalah yang sama, belum lagi nanti ada masalah lain, maka aku milih ini, Mbak."

Mereka yang berada di ruangan seolah tertegun. Jawaban Winda benar-benar membuat mereka kagum. Cara berpikir Winda sekarang ini benar-benar luar biasa. Karena memang benar, setelah masalah selesai, jika masih di tempat yang sama itu tak menutup kemungkinan akan ada masalah baru yang timbul karena masalah lama dan hanya akan menahan diri di sana, yang membuat belenggu sehingga tak bisa ke mana-mana.

"Masalah itu setelah di selesaikan cukup jadi kenangan saja, Mbak. Nggak selamanya masalah yang telah selesai bisa menjadi teman keseharian kita. Contoh aja mau move on, setelah kita melakukan perjuangan dan menyelesaikan dan memutuskan move on, kita nggak selamanya berdiri di sana, masih saling sapa masih mengharap, tapi kita bisa menjauh dan menemukan ketenangan diri sendiri dan jika beruntung bisa bertemu yang baru, 'kan?" jelas Winda panjang lebar yang seketika membuat Meisya menubruk tubuh Winda dengan air matanya.

"Winda, lo pokoknya jangan lupain gue! Lo harus kangen sama gue, Win!" ucap Meisya dengan tangisnya.

Winda membalas pelukan Meisya. Ia jelas akan merindukan Meisya yang sudah menjadi teman yang baik untukya. Meisya orang yang selalu menjadi tempatnya melepas masalah tentang hidupnya. Meisya adalah teman yang tahu segala masalahnya tanpa menyebarluas.

Windayu : Pilihan Kedua [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang