Bab 12

3.8K 252 6
                                    

Winda terduduk di kubikelnya setelah setelah kembali dari rapat pertamanya. Ia termenung sambil menahan sakit hati dan berusaha melupakan kata-kata yang dilontarkan atasannya padanya tadi. Winda jelas tahu dirinya salah dalam laporan yang ia buat, ia tidak teliti. Winda masih beradaptasi dan mendapatkan bentakan serta omongan yang membuatnya sakit hati.

"Win, udah nggak papa, nanti juga Pak Rangga bakal lupa, kita semua pernah dimarahi Pak Rangga kok, Win," hibur Meisya sambil menarik kursi agar duduk di samping Winda.

Winda menarik senyumnya dengan terpaksa agar Meisya tak khawatir padanya. Meisya jelas tahu, Winda sedang tidak baik-baik saja, gadis itu masih kaget, mungkin ini pertama kalinya untuk Winda dan Winda masih perlu penyesuaian dengan dunia kerja. Winda baru bekerja sekitar dua minggu.

Winda menangkupkan kepalanya ke meja. Dia benar-benar merasa lelah dan sedih. Walau dia bukan sosok yang sensitif pada perkataan orang, tapi tetap saja, dimarahi atasan di depan banyak karyawan adalah hal memalukan dan menunjukkan betapa tidak mampunya dirinya. Winda benci kalah.

Winda segera mengangkat kepalanya. Jam sudah menunjukkan jam untuk pulang kantor, rapat diadakan sebelum pulang, dan Winda harus merevisi banyak hal dalam laporannya yang salah. Winda bertekad akan menyelesaikan hari ini juga dan segera mengirim hail final laporannya pada Rangga untuk membuktikan bahwa dia mampu.

"Win, pulang aja, itu direvisi besok aja!" kata Meisya saat melihat Winda menyalakan layar komputernya.

"Nggak, Mbak. Ini harus selesai hari ini biar nggak menanggung beban nanti," ujar Winda yang mulai membuka halaman Excel di komputernya.

Meisya mengembuskan napasnya. Winda ternyata cukup keras kepala. Mood gadis itu juga sedang buruk. Ini jelas bukan hal baik. "Lo bawa pulang aja, Win! Gue nggak bisa nemenin lo lembur kali ini, gue mau ketemu temen gue."

"Mbak Meisya pulang aja, aku nggak papa lembur sendiri, lagian kantor juga masih banyak orang. Nanti aku jam tujuh udah balik, Mbak. Nggak usah khawatir!"

Meisya menyerah. Dengan terpaksa ia meninggalkan Winda yang sudah larut dalam pekerjaannya. Gadis itu jelas tak bisa berkonsentrasi seratus persen. Dia benar-benar berada di dalam keadaan mental yang tidak baik, tapi dia ingin membuktikan dan membungkam semua orang yang meremehkannya sebagai anak baru.

Winda menyerah, ia benar-benar sulit berkonsentrasi, dia terlalu memikirkan kata atasan dan kata orang-orang yang berbeda tim dengan Winda. Mereka jelas membicarakan Winda yang tidak becus dalam bekerja, mereka meremehkan dan menertawakan Winda. Winda benci hal seperti itu. Andai dia sudah cukup lama bekerja, dia akan dengan senang hati menimpali kata-kata menyebalkan itu dan membungkam mulut-mulut nyinyir,

Winda bangkit dari kursinya dan berjalan menuju toilet. Dia butuh cuci muka dan membenahi riasan tipisnya agar tak terlalu kusut. Di dalam toilet, Winda terdiam sejenak di salah satu bilik. Tadi kondisi toilet sedang sepi, jadi Winda tak akan mendengar orang-orang yang memiliki hobi membicarakan orang lain di toilet ini.

Winda segera keluar dan mencuci wajahnya serta mengenakan pewarna bibir untuk membuat wajahnya terlihat lebih segar. Winda segera keluar degan perasaan yang sedikit membaik, meski masih tak berselera dan kepikiran dengan apa yang dialaminya tadi.

Winda masuk ke dalam ruangan seketika berhenti saat melihat sosok lelaki yang berdiri menyender di kubikelnya. Lelaki dengan kemeja warna putih dilipat sebatas siku, dasi hitam menggantung di lehernya serta celana bahan warna khaki dan tas ransel hitam yang ia gendong di punggungnya. Tampilannya sudah tak begitu rapi, wajahnya juga sudah tak sesegar tadi pagi, tapi senyum manis setia tersungging di bibirnya.

Winda berjalan mendekat. Aroma parfum masih tercium dan begitu pas tercampur dengan aroma tubuh jangkung lelaki itu. "Mas Arka ngapain di sini?"

Bukannya menjawab, lelaki itu menarik kursi milik Dyah dan duduk tepat di samping kursi Winda. Winda masih berdiri mengamati lelaki itu. Arka balik menatap Windayu seolah menyuruh Winda untuk duduk. Winda mengembuskan napasnya dan berjalan ke arah kursinya dan duduk di samping Arka.

Arka merogoh saku celananya dan menaruh beberapa bungkus permen di atas meja Winda. Winda menoleh ke arah Arka. "Gue tahu lo lagi badmood. Tadi di lift gue ketemu Meisya, dan dia bilang lo lembur sendiri dan lagi badmood habis dimarahi atasan." Arka menunjuk beberapa bungkus permen yang ia taruh. "Biasanya kalau gue badmood, gue beli es kapucino, tapi kalau terpaksa, gue selalu sedia permen kopi. Rasanya manis, katanya rasa manis bisa memperbaiki mood."

Winda mengerjapkan matanya. Kehadiran Arka saja sudah cukup membuat moodnya membaik. Ditambah sikap Arka seperti ini, jelas membuat Winda merasa jauh lebih membaik. Bagaimana bisa, Winda tak jatuh hati pada Arka, jika Arka selalu ada di sekelilingnya, Arka selalu ada saat Winda membutuhkan lelaki itu.

Arka membuka bungkus permen rasa kopinya, dan mengulurkan pada Winda. Winda segera menerimanya dan memasukkan ke dalam mulutnya. Rasa manis tercecap di lidah Winda dan terasa lebih manis karena pemberian Arka.

"Lo coba lihat gue, Win! Pasti permennya jauh lebih manis," canda Arka sambil tertawa renyah yang begitu nyaman masuk ke dalam telinga Winda.

Winda segera menggeleng. "Yang ada jadi pahit, Mas."

Arka kembali tertawa. Tangan Arka menyentuh puncak kepala Winda dan mengelusnya lembut. Ini sudah seperti kebiasaan Arka jika sedang berdua dengan Winda. Lelaki itu tanpa sungkan mengusap atau mengacak puncak kepala Winda.

"Semangat ngerjain revisi laporannya! Gue bakal di sini nemenin lo sampai selesai."

Efek Arka benar-benar dahsyat. Jantung Winda sudah bertalu-talu tak jelas, debar menyenangkan kembali hadir. Dia sudah kalah telak pada Arka. Hatinya lemah jika menyangkut Arka.

"Mas Arka pulang aja! Perasaanku udah lebih baik kok, Mas," ujar Windayu sambil mulai mengetik di keyboard komputernya.

"Gue mau di sini kok, kenapa lo yang reot ngusir gue?"

"Terserah Mas Arka aja kalau gitu!" Windayu menyerah, karena dia tidak benar-benar mengusir Arka. Keberadaan Arka membuatnya bersemangat.

Mereka tenggelam dalam kegiatan masing-masing. Hingga tanpa terasa, Winda telah menyelesaikan pekerjaannya dan telah ia kirimkan ke atasannya. Winda menoleh pada Arka yang tampak sibuk menekuri ponselnya. Arka bahkan tampak tak bosan saat menemani Winda.

"Mas Arka mau nginep sini atau pulang? Aku udah selesai," ujar Winda yang membuat Arka segera mengalihkan tatapannya dari layar ponsel.

Arka mematikan layar ponselnya dan memasukkannya pada saku celana. "Kalau nginepnya sama lo nggak papa sih, Win."

Winda memutar bola matanya. "Aku sih nggak mau ya nginep di sini sama Mas Arka. Di apartemen jauh lebih nyaman."

Arka terkekeh. Dia begitu nyaman ngobrol bersama Winda. Winda menyenangkan dengan sikap tidak enak dan malu-malunya, tapi sekarang, setiap ia goda, gadis itu akan segera menepisnya.

"Win, jangan nolak pesona gue, nanti malah naksir!" celetuk Arka yang kekehan renyah khas yang membuat jantung Winda jumpalitan.

Tanpa Arka ketahui, Winda telah jatuh pada pesonanya, tanpa bisa mengelak. Arka memang sosok yang akan mudah mengambil hati. Sebelum Arka memulai permainan, nyatanya Winda telah kalah dan bertekuk lutut pada Arka.

"By the way, Win, ciuman lo malam itu masih kaku, perlu gue ajarin nggak?" bisik Arka tepat di telinga Winda.

Winda segera melotot. Wajahnya sudah memerah. Kenapa Arka harus mengingatkan hal itu lagi? Winda kembali terigat tekstur lembut dari bibir tebal Arka. Winda mengumpati Arka dalam hati.

Agar tidak semakin gila, Winda segera membereskan barang-barangnya dan bangkit dari kursinya. Gadis itu segera pergi keluar dari kubikelnya tanpa mempedulikan Arka yang kini tawanya menggelegar memenuhi ruangan yang tak begitu luas itu.

***

Hai... Ketemu lagi bersama Arka tukang bikin baper

Terimakasih sudah membaca cerita Windayu ini...

Shay,
Minggu, 15/11/20

Windayu : Pilihan Kedua [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang