Bab 20

5K 269 5
                                    

Sudah seminggu lebih Winda tak menghubungi Arka, begitupun Arka yang tak menghubungi Winda. Keduanya seperti menjadi dua sosok asing yang tak pernah berhubungan dekat sebelumnya. Winda seolah tak pernah berucap akan merubah Arka menjadi lebih baik. Mereka juga melupakan jaji-janji yang mereka buat untuk jalan berdua. Semua kata yang pernah terucap hanya menjadi omong kosong yang sulit diwujudkan.

Winda menyesap kopi panas yang baru saja ia pesan. Winda sebenarnya masih ingin membantu Arka kembali ke jalan yang lebih baik, tapi jika dari dalam diri Arka sendiri tak mau berubah, lalu seberapa besarpun usaha Winda akan berakhir sia-sia. Semua percuma, karena kuncinya ada di dalam diri Arka.

Suasana sore ini di kafe dekat apartemennya cukup nyaman untuk bersantai sendiri. Winda biasanya tak pernah duduk sendiri di kafe seperti ini. Paling biasanya dia hanya memesan menu dan akan ia bawa pulang. Ini pertama kalinya dia berani duduk sendiri di kafe seperti ini.

Saat sedang menaruh cangkirnya, Winda dapat melihat wanita dengan tinggi semampai duduk di bangku seberangnya sendirian. Winda mentap lekat wanita dengan mata sipit itu. Dia tak salah, wanita ini adalah wanita yang sama waktu di restoran seminggu yang lalu bersama Arka. Wanita cantik yang waktu itu mengobrol bersama Arka dan meninggalkan lelaki itu sendirian, sebelum wanita lain datang menghampiri Arka malam itu.

Winda mengalihkan tatapannya saat pandangan mereka bertumbukkan. Dengan salah tingkah, Winda mengambil kembali cangkirnya dan menyesap kopinya tanpa memedulikan jika kopi itu masih panas dan hal itu membuat wajah Winda memerah karena menahan panas dan mulutnya teasa terbakar. Winda segera menaruh kembali cangkir kopinya dan membuka mulutnya untuk mendinginkan mulutnya.

Winda masih sibuk dengan mulutnya yang kepanasan sampai tak sadar bahwa wanita semampai yang tadi dia lihat sudah duduk di bangku hadapannya. Winda mendongakkan kepalanya dan matanya terbelalak lebar saat menyadari kehadiran wanita itu.

Wanita itu mengangsurkan botol air mineral yang masing tersegel. Winda menatapnya sejenak lalu menatap wanita itu penuh tanya.

Wanita cantik itu tersenyum ramah. "Minum dulu, tadi saya lihat kamu kepanasan!"

Winda mengambil botol mineral, membuka tutupnya, lalu menegaknya dengan pelan. Winda kembali menaruh botol ke meja. "Terima kasih."

Wanita itu mengangguk. "Feel better?" Winda menjawabnya dengan anggukkan meski sebenarnya lidahnya masih mati rasa. "Maaf sebelumnya, apa kita pernah ketemu? Atau kamu mengenal saya?"

Winda segera menggeleng, lalu meringis. "Apa Mbak seorang bintang iklan atau artis? Saya sedari merasa familier dengan Mbak."

Winda jelas bertanya seperti itu hanya sebagai alibi karena dia tertangkap basah menatap lama wanita itu. Jelas, jawaban Winda merupakan jawaban teraman yang Winda pilih karena memang wajah wanita itu cocok sebagai seorang bintang iklan atau selebriti.

Wanita itu terkekeh. Winda bukan orang pertama yang mengira seperti itu. "Saya bukan bintang iklan apalagi artis. Saya cuma orang biasa."

"Maaf, Mbak. Saya kira Mbak artis, soalnya wajahnya bener-bener cantik," kata Winda sambil tersenyum canggung.

Winda tak berbohong saat mengatakan wajah wanita itu cantik. Dengan wajah oriental yang cukup kental, kulit putih cenderung pucat, tinggi semampai membuat wanita itu tampak sempurna tanpa cela sedikitpun.

Wanita itu hanya menanggapi dengan tawanya, lalu mengulurkan tangan pada Winda. "Saya Syaline."

Winda menatapnya sejenak sebelum membalas jabatan tangannya. Dia pernah mendengar nama itu disebut satu kali oleh Arka. Winda mengangkat tangannya dan mereih tangan Syaline. "Windayu."

Windayu : Pilihan Kedua [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang