Bab 8

4.1K 260 1
                                    

"Win, pulang kantor makan sama gue yuk!"

Winda yang sedang menyusun akru, menoleh ke arah Meisya. "Di mana, Mbak?"

"Ke Plaza Senayan aja, apartemen lo deket sana, 'kan? Nanti gue sekalian nginep tempat lo ya?"

Winda mengerutkan keningnya. "Ada masalah apa, Mbak?"

Meisya mendesah lelah. Dia sedang berada diusia seperempat abad, dia sedang mengalami quarter life crisis. Winda menatap wanita yang tampak lelah itu. "Gue capek sama omongan ortu dan keluarga gue, Win."

"Disuruh kawin, Mes?" celetuk Yeska yang baru saja masuk dengan membawa secangkir kopi yang masih mengepulkan asap.

Meisya menatap Yeska dengan sengit. Winda hanya bisa menggelengkan kepalanya. Winda tak tahu bagaimana perasaan Meisya, tapi Winda tahu, wanita itu sedang butuh menenangkan diri. Dia tahu, Meisya bukan berniat untuk melarikan diri dari masalah.

"Win, pas di acara Arin, lo balik duluan, kenapa? Mau kencan sama Arka?" goda Yeska yang membuat Winda lagi-lagi menghentikan pekerjaannya.

Hari Senin sore ini, di ruangan ini hanya tinggal mereka bertiga. Rindu harus keluar kantor untuk mendatangi cabang, Arinda juga harus ke lapangan, sedangkan Dyah izin cuti untuk pernikahan kakaknya.

"Enak aja, enggaklah. Aku tuh kemarin harus ke tempat kakakku. Disuruh nemenin mbakku yang lagi hamil tua, masku terpaksa harus pergi dinas ke Bandung," jawab Winda jelas berbohong. Kakaknya memang dinas ke Bandung, dia sempat disuruh menemani memang, tapi karena dia harus mendatangi acara Arinda, maka kakak iparnya diungsikan ke rumah orang tua wanita yang sedang hamil itu.

"Eh, tapi Minggu pagi kemarin, gue lihat Mas Arka, Win," celetuk Meisya. "Ngopi sama cewek di kafe."

Winda yang telah menyelesaikan pekerjaannya dan telah mengirimkan ke Arinda, menoleh kembali ke arah Meisya. Winda tampak penasaran dan entahlah, dia tak bisa menjabarkan perasaan yang muncul di hatinya.

Yeska berceletuk dengan santai. "Udah biasa kali, si Arka, 'kan emang buaya. Cara dia ngobrol aja udah ngeri gitu."

Meisya berdecak membenarkan. Sosok Arka yang mudah mengambil hati benar-benar mengagumkan sekaligus membahayakan. Lelaki itu baik, benar-benar baik, tapi kadar baiknya itu berada di level berbahaya bagi para kaum hawa.

Winda yang telah selesai merapikan barangnya, segera menggeleng dengan tingkah teman-temannya yang hobi bergosip ini. Tapi, dari topik yang mereka omongkan, Winda setuju dengan pendapat teman-temannya. Arka memang semengerikan itu tingkat pesonanya. Bukan modal tampang, lelaki itu jelas modal mulut, otak dan sikap. Tingkat yang jelas berada di atas modal tampang.

"Mbak Meisya, jadi enggak? Ayo cepetan! Mau gosip dulu silakan, tapi aku tinggal!"

***

Winda dan Meisya sedang menunggu pesanan mereka datang, tadi sepulang kerja mereka tidak jadi membeli makan dahulu, mereka memilih langsung ke apartemn Winda dan memesan makanan melalui aplikasi ojek daring. Kedua gadis itu sedang memainkan ponsel masing-masing sambil rebahan di karpet ruang tamu yang merangkap ruang santai.

"Win, lo sama Mas Arka beneran pure temen, 'kan?" tanya Meisya tiba-tiba.

Winda melirik Meisya sejenak, lalu menghela napasnya dan menaruh ponselnya secara asal di karpet bulu abu-abunya. "Mas Arka itu temen Mbak Rara dan Mas Ian, nggak mungkin, 'kan aku tiba-tiba ada apa-apa sama dia, Mbak?"

Meisya mendudukkan dirinya. "Gue bukannya mau gimana ya, Win, tapi dari semua gosip tentang Arka yang beredar, dia itu nggak sebaik itu, Win. Gue cuma khawatir sama lo."

Windayu : Pilihan Kedua [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang