Bab 13

3.8K 262 3
                                    

Winda terburu-buru keluar dari ruangannya dan menuju lift. Hari ini kakak iparnya melahirkan. Tadi siang kakaknya mengabari, bahwa keponakan Winda telah lahir dengan jenis kelamin laki-laki. Sepulang kantor sore ini, Winda akan langsung mnuju ke rumah sakit tempat kakak iparnya itu melahirkan. Orang tuanya juga telah sampai di sana siang tadi, setelah kakaknya mengabari pagi buta.

Winda masuk ke dalam lift. Di sana ada sekitar lima orang. Winda berdiri di pojok setelah memencet tombol lantai dasar yang ia pilih. Gadis itu melihat ponselnya, dia sudah tak sabar bertemu keponakan pertamanya, serta bertemu kedua orang tuanya setelah lebih dari sebulan ia merantau.

Setelah pintu lift terbuka, Winda segera keluar dari lift dan memilih tempat duduk di lobi untuk memesan ojek daring. Gadis itu duduk di kursi kosong dan mulai mengeluarkan ponselnya. Dia tak menyadari seorang lelaki yang memang sedari tadi sudah berada di lobi menunggunya. Lelaki itu mendekat dan duduk di samping Winda.

"Nggak usah pesen ojek aja, Win! Kita berangkat bareng ke rumah sakit." Winda mengangkat kepalanya, lalu menoleh ke sumber suara.

"Mas Arka sejak kapan di sini?"

Lelaki itu terkekeh. "Sejak lo buru-buru keluar dari lift. Gue dari tadi emang udah sengaja nunggu lo di lobi, mau ngajak bareng ke rumah sakit buat jenguk Ratih," jelas Arka yang membuat Winda meringis.

"Kenapa Mas Arka nggak ngabarin aku dulu lewat chat, kalau mau bareng?"

"Gue mau lihat lo kaget dan panik kayak gini, Win. Lucu," canda Arka yang membuat Winda mulai terbiasa dengan candaan lelaki itu.

Winda menggeleng. "Mas Arka tuh udah tua, kadang lupa umur. Masih suka godain anak kecil kayak aku gini."

Arka terbahak. Winda sekarang sudah mulai membalas godaan yang ia lontarkan. "Gue masih muda, Win dan lo bukan anak kecil!"

Winda terkekeh. "Mas Arka tuh udah dua delapan, aku masih dua puluh dua. Itu jau banget ya, Mas. Itu kakakku seumuran Mas Arka udah punya anak."

"Lo juga udah bisa menghasilkan anak dengan usia dua puluh dua, Win."

Winda menggeleng. Obrolan mereka mulai melantur tak jelas dan dia tadi sedang terburu-buru. "Mas, mending kita berangkat sekarang daripada debat nggak jelas kayak gini!"

Arka menepuk dahinya. "Lo sih, Win, ngajak debat mulu, lupa gue mau jenguk Ratih."

Winda mendengkus. Arka bangkit dari bangkunya dan mengulurkan tangannya untuk Winda agar gadis itu segera bangkit. Winda menatap tangan Arka, lalu menepuknya tanpa menerima uluran tangan itu. Arka terkekeh. Winda segera bangkit dan berjalan berdampingan dengan Arka menuju parkiran.

Mereka telah terduduk di bangku MPV hitam milik Arka. Winda memasang sabuk pengamannya, Arka telah menyalakan mesinnya dan tangannya sibuk menyalakan radio untuk menemani kemacetan ibu kota di jam pulang kerja.

Winda menikmati perjalanan sambil sesekali ia ikut bersenandung pelan saat radio memutarkan lagu yang ia kenali. Winda tak memiliki jenis musik atau lagu yang ia sukai, dia menyukai semua lagu yang enak di dengar, begitu pula dengan Arka, jadi di dalam mobil mereka tak akan membicarakan musik seperti yang sering diceritakan di dalam drama atau novel romantis.

"Bosen, Win?" tanya Arka yang masih berjibaku dengan kemacetan, kakinya jelas pegal menahan kopling, rem dan gas.

Winda menoleh. "Nggak sih, Mas. Mas Arka bosen, karena dari tadi diam aja?"

"Bosen sama macetnya. Sama lo mah, nggak mungkin bosen, lo terlalu menggemaskan," goda Arka yang membuat pipi Winda memerah.

Winda menutupi pipinya yang memerah. Berusaha bersikap sebiasa mungkin di hadapan Arka, meski jantungnya sudah tak berdetak dengan normal. Winda telah membiasakan diri dengan segala godaan Arka dan dia sebisa mungkin untuk membalasnya meski di dalam hatinya sedang bergemuruh dan berbahagia dengan godaan Arka.

Windayu : Pilihan Kedua [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang