Siapkan mental dan hujatan untuk part ini.
°°°
Pekerjaan yang menumpuk hari ini membuat ruangan tim akuntan masih ramai meski jam telah menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit petang. Enam penghuni ruangan itu masih berkutat dengan angka di kubikel masing-masing. Laporan dan jurnal mereka kerjakan dengan penuh kehati-hatian namun waktu jatuh tempo pengumpulan besok pagi membuat mereka mempercepat ritme kerja mereka.
Winda masih mencocokkan kembali antara beban dan aset sebelum ia masukkan ke dalam laporan dan ia kirimkan ke atasan mereka yang bernama Rangga. Rangga merupakan atasan yang tegas namun terlihat santai, tapi jika masalah serius, kata-kata pedas Rangga akan tersembur yang membuat semua orang yang mendengar akan sakit hati dengan perkataan lelaki beranak satu itu.
Winda sudah pernah dibentak dan disembur kata-kata menyebalkan dari mulut Rangga, jelas sampai sekarang ia masih sedikit sakit hati dan sulit melupakan kejadian itu. Bekerja menjadi bawahan Rangga sepertinya memang harus memiliki mental sekuat baja.
"Selesai, tinggal kirim ke Papih Rangrang!" seru Meisya dengan semangat yang membuat atensi seluruh penghuni ruangan tertuju padanya.
"Udah lo cek lagi belum? Nanti ada yang salah bakal kena semburan mau," sahut Dyah yang ragu akan kecepatan temannya itu dalam megerjakan laporan bulanan dari nasabah.
Meisya mengibaskan rambutnya dengan penuh keangkuhan. "Udah gue cek bolak-balik, kalau papih tetep marahin gue, gue ajak dia clubing."
Winda hanya diam sambil menyelesaikan kerjaannya yang memang sudah hampir selesai itu. Setelah bekerja, dia sudah janji untuk makan malam bersama Arka. Lelaki itu sempat mengabari, jika ia menunggu Winda di kantin kantor.
Winda yang awalnya merasa tak enak harus membuat Arka menunggu, jelas menolak ajakan lelaki itu. Tapi memang dasar Arka yang bebal, dia nekat menunggu Winda di kantin. Winda jelas kalah berdebat dengan Arka. Lelaki itu memang tak diragukan lagi dalam bersilat lidah, baik dalam makna sebenarnya atau makna kiasan. Karena lidah lelaki itu memang sudah berpengalaman. Winda sudah dibuat mabuk kepayang karenanya.
Pikiran Winda yang mulai melantur membuatnya segera menggelengkan kepalanya dan kembali fokus pada pekerjaannya. Setelah menekan tanda titik di akhir kalimat, akhirnya gadis itu dapat bernapas lega. Laporan segera ia kirimkan melalui surat elektronik kepada atasannya agar dapat ditinjau dan jika ada yang tidak beres, besok ia bisa revisi tanpa diburu waktu.
Winda mematikan layar komputernya dan membereskan mejanya yang jelas tidak terbentuk lagi jika pekerjaannya menumpuk seperti hari ini. Winda berdiri dan menatap kubikel milik teman-temannya.
"Mbak-mbak dan Mas, aku duluan ya," pamitnya dengan senyum yang ia buat semanis mungkin untuk menggoda rekan-rekannya.
"Lo udah selesai!" tanya Arinda tak percaya.
Winda mengangguk kalem. "Iya, udah aku kirim juga laporannya ke Pak Rangga, Mbak."
Meisya yang memang sudah selesai sedarii tadi menepuk dahinya. "Lupa belum gue kirim ke papih."
"Cepet kirim, Mbak!" kata Winda masih dengan senyum jumawa. "Aku duluan ya! Udah ditunggu," pamit Winda yang tanpa menunggu respon dari rekan-rekannya, ia melenggang pergi begitu saja.
Winda segera mengabari Arka jika ia telah selesai, karena tak memperoleh balasan dari Arka, gadis itu memilih berjalan ke kantin di mana tempat lelaki itu berkata akan menunggunya.
Winda mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kantin, tak ada sosok yang dicarinya. Kantin juga telah sepi. Winda menarik salah satu kursi untuk ia duduki. Tangannya mengambil ponsel pintarnya dan mengirimi beberapa pesan pada Arka untuk menanyakan keberadaan lelaki itu, tapi tak ada balasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Windayu : Pilihan Kedua [Completed]
ChickLitSelesai ✓ (18/10/20 - 29/01/21) Windayu tak apa jika hanya menjadi pelarian saat Arka sedih. Windayu berusaha untuk selalu ada di saat Arka membutuhkannya. Windayu akan tersenyum saat Arka bahagia meski ia harus menyembunyikan rasa sakit yang menghu...