Bab 1

13K 621 10
                                    

Menganggur setelah lulus kuliah bukanlah suatu perbuatan kriminal, tapi mengapa tetangga seolah menjadikan hal ini sebuah kejahatan kejam yang harus dibicarakan sana – sini. Windayu lelah dengan segala omongan tentangnya yang telah menjadi pengangguran selama tiga bulan ini. Telinga Windayu rasanya sudah kebal dengan omongan tetangga yang tak ada hentinya. Setiap waktu saat dirinya membantu ibunya berjaga warung, tetangganya akan bersabda tanpa henti tanpa memikirkan perasaan Windayu. Mereka tak tahu apa yang sedang Windayu lakukan, tapi mereka seenaknya menilai. Seperti jika ada perkumpulan warga, dan Windayu tak muncul, maka tetangga akan membicarakan Windayu yang sombong dan jika Windayu datang, dia hanya akan ditanyai macam-macam yang membuat hatinya sakit. Semenyebalkan itu memang kebiasaan warga yang sudah menjadi racun pembunuh rasa percaya diri seseorang.

"Mbak Winda, kok jaga di warung, nggak kuliah, Mbak?" tanya seorang perempuan kisaran umur tiga puluhan yang sedang menggendong seorang balita laki – laki.

Windayu tersenyum seadanya. "Sudah lulus, Bulik."

"Lah, ora nggolek gawean po kepiye, Mbak?" Sudah Windayu duga, bakal dapat ceramah dan omongan tiada henti. [Lah, tidak mencari pekerjaan apa bagaimana, Mbak?]

Windayu mengulas senyum setengah hati. "Nembe pados, Bulik. Sakniki tasih nunggu panggilan kalih mbantu ibu nenggo warung." [Masih mencari, Bulik. Sekarang masih nunggu panggilan sekalian membantu ibu jaga warung.]

"Masih belum dapat ya, Mbak? Ponakanku yang baru lulus SMK kemarin aja udah kerja di pabrik, bisa bantu – bantu simboke cari duit," kata wanita yang bernama Indah yang Windayu tahu maksudnya untuk menjatuhkan dirinya. "Mbak Winda udah sarjana malah belum dapat pekerjaan ya."

Windayu tersenyum masam. Dia baru mengganggur tiga bulan, bukan tiga tahun, tapi rasanya dunia seakan kiamat dengan kenyataan itu. Kenapa dia yang menganggur, orang – orang yang kebingungan, dia santai, bapaknya santai, kakaknya juga tidak masalah, tapi kenapa tetangga yang tak ikut membiayainya sekolah dan makan malah yang tekesan terusik? Windayu tidak minta makan juga pada keluarga Bulik Indah, tapi dia yang repot dengan pekerjaan Windayu.

"Mau beli apa, Bulik?" tanya Windayu mengalihkan pembicaraan beracun.

"Beli beras dua kilo sama telur seperempat, Mbak." Windayu mengangguk dan mulai menimbang beras serta telur.

"Ini Bulik, jadinya dua puluh enam ribu lima ratus."

"Mbak, saya cuma bawa duit dua puluh, nanti kurangnya kapan – kapan ya, Mbak," kata Bulik Indah dengan entengnya. Windayu tersenyum berusaha sabar.

Kelakuan tetangganya semenyebalkan ini, sudah ngutang, masih ngata – ngatain. "Kok nggak minta bantuan keponakannya, Bulik? Katanya sudah kerja bisa menghasilkan uang sendiri?"

Winda tahu dia lancang, tapi kesabarannya sudah dikuras habis menghadapi orang tak tahu diri seperti Bulik Indah ini. Sekarang bisa dilihat muka Bulik Indah yang tampak sinis pada Windayu, Windayu masih memasang senyum seolah mengejek. Windayu merasa senang melihat raut muka yang awalnya dibuat ramah menjadi bengis itu.

"Kerja, juga gajinya nggak seberapa, Mbak. Kemarin juga udah bisa buat beli motor, daripada nganggur nggak berguna," sinis Bulik Indah. "Udah gitu ngabis – ngabisin uang buat kuliah, kalau akhirnya juga cuma nganggur, itu ponakan saya nggak ngabis – ngabisin uang kayak Mbak Winda."

"Setidaknya orang tua saya nggak keberatan dan saya nggak minta makan sama Bulik, nggak ngutang juga." Windayu seakan tidak mau membiarkan obrolan ini berhenti begitu saja, dia tidak akan kalah, masa bodoh, besok dia akan menjadi bahan gosip di desa.

Belum sempat mendengar sanggahan dari Bulik Indah, ponsel Windayu lebih dulu berdering dan membuatnya mengabaikan Bulik Indah. Windayu mengangkat telepon dari nomor kantor. Windayu berharap ini bakal menjadi panggilan interview pertamanya dan membungkam mulut menyebalkan Bulik Indah.

"Halo, selamat siang, benar dengan Saudari Windayu Respati?" sapa seorang perempuan di seberang telepon.

"Selamat siang, benar saya sendiri. Ada apa ya, Bu?"

"Saudari Windayu yang mengirim lamaran di Bank Central, benar?"

Windayu tersenyum lebar. "Benar, Bu."

"Apakah Senin minggu depan, Anda bisa ke Jakarta untuk melakukan Interview kerja?" Pertanyaan dari seberang telepon membuat Windayu merasa bahagia dan lega.

"Bisa, Bu," jawab Windayu dengan cepat dan semangat.

"Baik, untuk informasi selanjutnya akan kami kirim ke email ya. Terima kasih atas waktunya," tutup perempuan di seberang telepon.

Windayu memasukkan ponselnya ke dalam saku, lalu melihat Bulik Indah yang masih setia di depan warunngnya. "Bulik masih mau berdiri di sini? Saya mau nutup warung soalnya."

Tanpa pamit, Bulik Indah langsung berlalu bgitu saja saat Winda mulai menarik pintu warung. Setelah berhasil menutup warung, Windayu segera berjalan masuk ke rumah untuk mengabarkan pada kedua orang tuanya. Masuk ke dalam rumah, Winda melihat kedua orang tuanya sedang duduk santai di depan televisi yang menyala. Winda mengahampiri kedua orang tuanya, duduk lesehan di atas karpet.

Suwinto, bapak Widayu, melirik putrinya yang tampak akan membicarakan sesuatu. Lelaki setengah abad itu menunggu Winda menyampaikan tanpa berniat untuk bertanya terlebih dahulu. Rusiyah, sang ibu, hanya diam fokus menonton layar kaca yang menampilkan sebuah film televisi yang menceritakan seorang istri yang teraniaya.

"Pak, Bu, Winda dapat panggilan interview di Jakarta, Senin depan." Windayu menyampaikan kabar yang membuat sang bapak tersenyum tipis.

Lelaki yang rambutnya memutih sebagian itu menatap putri bungsunya dengan hangat. "Kapan berangkat ke Jakartanya, Nduk?"

Windayu tempak berpikir, dia belum menyiapkan segalanya, juga belum mengabari kakaknya. "Dereng ngertos, Pak. Kula dereng siapsiap kaleh ngabari Mas Ian." [Belum tahu, Pak. Saya belum siap – siap sama ngabari Mas Ian.]

"Kabari masmu dulu, Nduk, bilang saja tiga hari lagi kamu ke sana!" titah sang bapak dengan hangat.

Windayu mengangguk, lalu mengabari sang kakak dan memesan tiket pesawat dari Solo ke Jakarta untuk jadwal tiga hari kedepan, tepatnya hari Kamis. Setelah selesai dengan segela persiapan dan tiket sudah di tangan, Windayu kembali menghampiri ibunya.

"Bu, Winda kalau menetap di Jakarta sambil cari – cari kerja di sana bagaimana, Bu?" tanya Winda dengan hati – hati, dia takut mendapat penolakan dari ibu dan bapaknya.

Sang ibu tersenyum dan mengelus kepala Winda dengan sayang. "Nggak apa – apa, Nduk, asal kamu tidak merepotkan mas dan mbakmu di sana."

Sang bapak mendekat lalu meraih tangan anaknya. "Kalau bisa, kamu cari kosan di sana, biar nggak numpang sama masmu lama, Bapak merasa nggak enak sama masmu!"

"Iya, Pak, rencananya Winda mau ngekos dengan uang tabungan yang Winda punya."

Suwinto mengangguk dan tersenyum hangat. "Ingat, Win, di sana kamu harus bisa jaga diri, biar bagaimanapun Jakarta kota besar dan kamu anak perempuan Bapak dan Ibu satu – satunya, jangan buat Bapak, Ibu dan mas – masmu kecewa dan bersalah karena melepas kamu di kota besar!"

Hati Windayu menghangat mendengar petuah sang bapak. Dalam hati, Windayu berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga diri dan tak akan mengecewakan orang – orang yang begitu menyayanginya. Windayu jelas masih memakai logikanya untuk tidak merusak diri, Windayu masih waras, setidaknya sampai saat ini.

***
H

ai hai hai... Ketemu lagi sama Windayu
Terimakasih sudah mau mampir di cerita Windayu.

Shay,
Selasa, 20/10/20

Windayu : Pilihan Kedua [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang