Bab 7

4.2K 276 4
                                    

Arka terdiam merenung di dalam kafe. Lelaki itu semalam menunjukan sisi lemahnya di hadapan Winda. Sosok Winda begitu menenangkan dan memberi kenyamanan membuat Arka terlena dan menumpahkan kerapuhan dirinya. Winda benar-benar memiliki aura lembut yang tak biasa, beda dengan Syaline yang memiliki sifat tegas dan keras kepala.

Arka telah menghabiskan dua cangkir kapucino. Dia sedang dilanda rindu. Rindu kepada mamanya dan Syaline. Arka berharap dia bisa menemukan Syaline kembali dan mengajak wanita yang menjadi pusat hidupnya itu menjalin hubungan yang hanya diisi berdua. Dalam hidupnya, Arka bersumpah hanya ingin menikahi Syaline, meski wanita-wanita di sekitarnya memberikan segalanya untuk Arka.

"Masih suka kapucino, Ar?" Suara lugas seorang wanita yang membuat Arka mematung. Dia sangat mengenali suara itu.

Arka mengangkat kepalanya dan menatap seorang wanita dengan wajah ramahnya sedang tersenyum ke arah Arka. Arka mengerjapkan matanya. Dia berharap ini nyata, bukan hanya sekadar halusinasinya saja.

Di hadapannya kini berdiri seorang wanita yang sedang berkeliaran bebas di pikirannya, seseorang yang menempati hatinya, seseorang yang hampir sepuluh tahunan ini menjadi poros dunianya. Sudah sekitar lima tahunan ini mereka tak bertukar sapa. Arka sangat merindukan wanita yang bernama Syaline ini.

"Ar, are you ok?"

Arka mempersilakan Syaline duduk kode tangannya, tanpa bersuara. Arka masih menatap sosok Syaline yang nyata di hadapannya. Tak banyak yang berubah, Syaline masih wanitanya yang memiliki mata sipit, hidung mancung dan bibir tipis, serta garis rahang tirus yang menampilkan kesan tegas dalam diri wanita itu. Syaline benar-benar gambaran cantik wanita secara umum.

"I think, no. But, now, after meet you again, i feel better," jawab Arka yang membuat Syaline tersenyum tipis.

"Masih hobi gombal kamu, Ar," celetuk Syaline sambil menggelenngkan kepalanya tak percaya.

Arka terkekeh. Apa yang ia katakan benar, dan Syaline menganggap sebagai candaan. "Aku selalu bilang, aku serius jika menyangkut kamu, Line."

"Ar, kita udah beda sekarang, kita udah sendiri-sendiri karena kesalahan kita. Kita sepakat untuk pisah."

Arka tersenyum kecut. Dia tak pernah melepas Syaline, Arka tak pernah menyetujui perpisahan mereka. Saat itu Arka hanya memberi Syaline waktu untuk sendiri. "Aku nggak pernah mengiyakan permintaan pisah kamu, Line, kalau kamu ingat."

Syaline membuang napasnya. Percuma bicara dengan Arka yang berkepala batu. Mereka sudah hilang kontak selama lima tahun, dan Arka masih menganggap mereka menjalin hubungan. Syaline akan menyadarkan Arka tentang ini.

"Ar, aku udah sama yang lain. Dulu berpisah memang jalan terbaik buat kita dari belenggu sakit itu, Ar."

Arka menggeleng. "Gue nggak peduli kamu sama siapa sekarang, Line! Karena kamu memang udah ditakdirkan untukku."

Syaline memilih menyeruput kopi hitamnya yang baru saja diantar oleh pramusaji. Kebiasan meinum kopi di antar kedua orang tersebut memang seperti berbalikan. Syaline menyukai kopi hitam yang pekat dan pahit, sedang Arka lebih menyukai kapucino yang manis.

Arka mengamati bagaimana cara Syaline meminum kopinya. Selalu menawan. Jari lentik itu begitu anggun saat memegang cangkir putih itu. Syaline selalu tampak sempurna. Kepribadiannya hampir seperti Arka yang senang bersosialisasi, pandai dalam mencari obrolan, ramah dan tegas. Sosok Syaline memang semengagumkan itu. Seperti titisan malaikat yang turun ke bumi.

"Aku dengar kamu sekarang kerja di bank, Ar?"

Arka megangguk. "Satu divisi sama Eksa."

"Data Analyst?" tanya Syaline dengan mata berbinar. Arka mengangguk. "Wow. You know, you are amazing, Ar. Aku dari dulu pengen banget jadi Data Analyst, tapi kejebak jadi Programmer."

Windayu : Pilihan Kedua [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang