Sepasang anak manusia sedang duduk di subuah unit apartemen ditemani dua cangkir teh hangat dan beberapa bungkus makanan ringan yang tadi sempat mereka beli di mini market. Kedua manusia itu masih setia bungkam. Teh hangat yang tersaji di atas meja seakan tak bisa menghangatkan suasana dingin yang mendera keduanya.
Arka mengambil cangkir tehnya dan menyesapnya. Lelaki itu menghidu aroma teh bercampur bunga melati yang menyegarkan pikiran. Dengan pelan, lelaki itu menegak tehnya dan menikmati rasa hangat di mulutnya yang merambati seluruh badannya. Rasa pahit dan manis dicecap oleh lidahnya. Perasaannya perlahan mulai membaik.
Winda lebih memilih diam dan membiarkan Arka menenangkan perasaanya serta menunggu lelaki itu siap bercerita. Winda tak ingin memaksa atau mendesak lelaki itu untuk membuka mulut, karena mungkin saja luka yang Arka alami begitu dalam dan menyakitkan.
Arka mengusap wajahnya. Dia benar-benar belum sepenuhnya yakin untuk membuka semua lukanya pada Winda, tapi entah bagaimana, dia merasa begitu mempercayai sosok Winda. Arka bimbang. Dia takut, tapi dia butuh sosok yang mampu menopang, menengar, membagi seluruh lara dalam dirinya.
"Windayu, gue bingung." Arka membuka suaranya dengan nada yang terdengar putus asa.
Winda menoleh. Gadis itu menatap Arka sehenak, lalu tersenyum tulus pada Arka. "Aku di sini, Mas. Aku siap dengarin semua, tapi jika kamu nggak mau cerita, aku nggak akan memaksa. Yang Mas Arka harus ketahui, aku akan selalu di sini, ada jika Mas Arka mencari!"
Arka yang awalnya menengadahkan kepalanya, kini dia menoleh dan menatap Winda. Arka bisa melihat senyum tulus yang Winda ukir. Arka merasa lemah, dia butuh sosok Winda di sampingnya. Arka kembali menatap lurus ke depan.
Arka menghela napasnya. "Mama gue pergi karena gue. Dia sakit karena gue, Win. Anak yang selama ini beliau banggakan, malah membuat dia kecewa luar biasa."
Winda tercengang, tapi dia memilih diam. lebih baik ia mendengarkan tanpa mau menginterupsi, karena kadang seseorang hanya butuh didengar tanpa dikomentari. Winda menahan mati-matian rasa ingin mendekap erat tubuh jangkung di sampingnya.
"Mama gue pergi sekitar tiga tahun lalu setelah memergoki gue sedang tidur di apartemen ini bersama seorang wanita. Mama gue jelas kaget dan langsung jatuh sakit. Beliau terkena serangan jantung dan stroke. Selama di rawat di rumah sakit, beliau nggak pernah sedikitpun mau melihat wajah gue. Hati gue teriris," terang Arka dengan nada pedih yang tak bisa ia sembunyikan.
Air mata Arka mengalir deras. Membuka luka yang selama ini ia coba sembuhkan rasanya tak berubah, masih begitu perih meski ribuan air mata telah ia keluarkan. Lukanya tak pernah bisa luruh. Arka tak utuh sejak kehilangan mamanya. Arka merasa pusat dunianya hilang tak berbekas lagi.
Arka menutup wajahnya dengan telapak tangan. Menggali seluruh perasaan sakit yang menderanya. Menyusun setiap puing-puing luka yang membalut seluruh kenangan. Dadanya sungguh terasa nyeri tanpa ada yang menusuk. Tenggorokannyapun berat untuk membuka suara. Perpaduan rasa yang menyebalkan karena dia tak menemukan penawar.
Arka mengusap wajahnya kasar sebelum kembali membuka suara, "Saat mama gue pergi, papa dan kakak gue nggak pernah nganggep gue ada. Keluarga gue nggak ada yang peduli gue. Mereka membenci gue, menyalahkan apa yang menimpa mama gue karena gue. Gue tahu gue bejat. Gue memang buruk dan pantas dikucilkan dari mereka. Gue suka mabuk-mabukan, gue ngerokok. Itu semua jelas pantangan dalam keluarga gue yang selalu menjunjung tinggi nilai agama. Keluarga gue termasuk keluarga terpandang di sana. Papa gue jadi seorang pendakwah yang disegani di lingkungan tempat tinggal gue. Jelas, kelakuan gue yang seperti ini telah mencoreng muka papa gue."
Ironi kehidupan benar-benar tergambar jelas dalam keluarga Arka. Arka yang dibesarkan dari keluarga baik-baik dengan ketaatan keluarganya terhadap aajaran agama bisa menjadi seseorang yang dilarang dalam agamanya. Karena nyatanya, bagaimana baiknya keluarga di pandangan masyarakat, belum tentu bisa menuntun dan mendidik seorang anak dengan baik dan berada di jalur yang benar. Kadang kala, mereka lepas dari pengawasan. Arka salah satu contohnya. Dan harusnya, keluarga Arka tak membuang lelaki itu seperti ini, mereka harusnya mampu menerima dan menuntun Arka kembali pada jalan yang benar. Jika seperti ini, mereka malah semakin mendorong Arka dalam jurang kehancuran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Windayu : Pilihan Kedua [Completed]
ChickLitSelesai ✓ (18/10/20 - 29/01/21) Windayu tak apa jika hanya menjadi pelarian saat Arka sedih. Windayu berusaha untuk selalu ada di saat Arka membutuhkannya. Windayu akan tersenyum saat Arka bahagia meski ia harus menyembunyikan rasa sakit yang menghu...