Bab 27

4.2K 250 7
                                    

Arka menarik napasnya. Mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang terkuras karena kegiatannya bersama Winda. Kedua manusia itu masih terbaring di ranjang yang sama. Arka memejamkan matanya seolah-olah sedang melakukan kilas balik apa yang baru saja ia lakukan. Seketika ia tersentak. Lelaki itu bangkit, duduk sambil menatap Winda.

Arka segera menyelimuti tubuh Winda. lelaki itu mengacak rambutnya frustasi. Dia baru tersadar apa yang ia lakukan. Sedangkan Winda masih terbaring sambil memejamkan matanya untuk mengurai kelelahan yang ia rasakan. Winda membuka matanya, lalu tatapan jatuh pada Arka yang juga tengah menatapnya dengan nanar.

"Maafin gue, Win. Nggak seharusnya gue lepas kendali. Nggak seharusnya gue buat lo begini," sesal Arka yang menyalahkan dirinya sendiri.

Winda masih terdiam. Dia tahu apa yang mereka lakukan jelas salah, tapi ada perasaan lain jika hal itu sebuah keputusan tepat yang Winda ambil untuk bisa dilihat oleh Arka. Ada sesal tapi ada pula rasa bangga.

"Win, lo boleh marah ke gue. Lo boleh pukul gue. Lo boleh lakuin apa aja ke gue atas keberengsekan gue. Hukum gue, Win!" seru Arka frustasi. Ia marah pada dirinya sendiri. Dia begitu bodoh tertutup nafsu sampai merusak Winda. Arka jelas tahu, ia yang pertama untuk Winda.

Winda duduk, lalu membenarkan selimutnya ke tubuhnya. Wanita itu tersenyum pada Arka seolah mengatakan ia baik-baik saja. Ia jelas tak bisa marah pada Arka, karena mereka melakukan atas persetujuan Winda.

"Mas Arka nggak salah. Ini juga atas persetujuan aku dan aku yang nawarin duluan 'kan, Mas? Jadi Mas Arka jangan menyalahkan diri Mas Arka, karena bukan cuma Mas Arka aja, aku juga salah di sini," kata Winda dengan lembut yang membuat perasaan Arka tak karuan.

"Gue nggak seharusnya meminta itu ke lo, Win," desah Arka frustasi. Lelaki itu mengusap wajahnya kesal. "Lo mau bersihin diri?" tanya Arka setelah ia menguasai emosinya.

Winda menggeleng. "Nanti aja, aku bisa sendiri, Mas."

Arka mengangguk. Ia menatap Winda kembali. Kini ia bisa melihat jelas bekas kebejatannya pada tubuh Winda. jejak-jejak warna merah di leher dan bahu Winda yang terbuka membuat Arka semakin merasa bersalah.

"Gue balik kamar dulu ya, Win? Nanti kalau lo butuh sesuatu lo bisa ketuk kamar gue atau telpon gue!" ujar Arka yang kini memakai kembali pakaiannya yang berserakan.

Lelaki itu segera keluar dari kamar Winda setelah berpakaian lengkap. Lelaki itu masuk ke kamarnya, lalu membanting tubuhnya di kasur. Dia memang merasakan nikmat bersama Winda, tapi rasa bersalah lebih mendominasi. Winda yang sudah ia anggap sebagai adik sendiri yang seharusnya ia jaga malah ia jadikan pelampiasan emosi dan nafsu bejatnya. Arka membenci dirinya sendiri.

Kini pikiran Arka tertuju pada Ratih dan Argi. Entah apa yang akan dilakukan kedua temannya itu jika tahu dirinya meniduri Winda. Mereka pasti akan murka, terutaman Argi. Lelaki pendiam dan kaku itu pasti tak akan melepaskannya jika mengetahui apa yang telah ia perbuat pada adiknya.

Arka tak yakin jika setelah ini, hubungannya dengan Winda akan tetap baik-baik saja seperti semula. Dia bahkan sudah membayangkan betapa canggungnya dirinya pada Winda nanti. Arka jelas frustasi. Winda satu-satunya orang yang selalu bisa menenangkannya, selalu memberi kekuatan untuknya, orang yang membuat Arka merasa lepas bercerita dengan wanita itu, tapi Arka yang merusaknya. Merusak semua jalinan baik itu.

"Arka bego. Mikir apa sih lo sampai bisa having sex sama Winda? Goblok banget emang gue!" seru Arka frustasi. Dia ingin melepas dan melupakan segala rasa bersalah dan kebodohannya.

Arka segera membersihkan diri dan pikirannya di kamar mandi. Seelah merasa segar, ia lebih baik sedikit jalan-jalan ke luar sore ini. Setidaknya ia bisa menjernihkan pikiran dengan mengelilingi pusat perbelanjaan yang berada di samping hotel yang ia tempati atau menyebrang jalan untuk menikmati Simpang Lima Semarang.

Windayu : Pilihan Kedua [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang