Bab 16

3.8K 262 4
                                    

Langit yang menggelap karena mendung tak membuat lelaki itu menepi. Angin yang bertiup kencang seolah menjadi penyeimbang dari rasa sesaknya asap rokok. Arka terpekur dalam kesendiriannya. Ingatannya melalang buana ke dimensi masa yang telah lalu dan usang. Lelaki itu gemar mengandaikan sesuatu yang telah terjadi dan tak mungkin terulang kembali. Arka jelas ingin kembali ke masa di mana dia melakukan kebodohan dengan melepaskan Syaline dari sisinya. Andai waktu itu dia menahan Syaline, mungkin Arka telah hidup sebahagia Argi dan Ratih.

Arka mengisap rokoknya dengan dalam untuk merubah rasa perih di hatinya menjadi rasa sesak di paru-parunya dan meluruhkan bersama embusan kencang dari mulutnya. Arka menyesali semua yang telah terjadi di masa lalu. Mulai dari melepas Syaline, kepergian ibunya yang disebabkan olehnya dan renggangnya hubungan antara dirinya sang ayah dan sang kakak. Semua karena dirinya yang terlalu pengecut di masa lalu.

"Lo ngapain di sini sendiri?" Terdengar suara seorang wanita di belakangnya.

Arka menoleh, lalu membuang puntung rokoknya yang masih setengah dan menginjaknya. "Menikmati senja. Biar kayak anak-anak zaman sekarang," canda Arka sembari menampilkan senyum jenakanya.

Wanita itu menggeleng, lalu duduk di beton kosong di samping Arka. "Lo berubah jadi anak senja penikmat kopi dan pecinta quotes galau?"

Arka hanya terkekeh. "Ngapain lo ke sini, Fi?"

Wanita bernama Fia itu mengedikkan bahunya. "Sumpek aja di dalam. Makanya gue izin ke sini."

"Halah, paling lo kabur buat bantu beres-beres."

"Kagaklah. Gue lagi ada masalah aja sama salah satu anak kantor," jelas Fia.

Arka menoleh. "Sama Akmal? Kata Sena, lo lagi deket sama Akmal."

Fia mengangguk. Wanita itu terkekeh. "Update bener lo, Ar?"

Arka mengerlingkan matanya. "Lo, 'kan mantan gebetan gue, Fi. Mana bisa gue lepas berita tentang lo."

Fia mendengkus. "Padahal kita nggak sedekat itu buat disebut gebetan."

Arka terkekeh. Dia memang tak pernah dekat, hingga bisa disebut gebetan. Arka jelas hanya menggoda untuk mencairkan suasana. Arka jelas tak ingin dirinya yang galau akan diketahui oleh orang lain. Arka jelas bukan sosok yang mudah mengumbar masa lalu pada orang lain.

Tak terasa, lngit mulai meluruhkan bebannya. Mereka segera masuk agar tidak kehujanan. Mereka berjalan sembari mengobrolkan hal-hal ringan. Sesekali mereka tertawa karena celetukan Arka atau jawaban nyeleneh Fia.

Sampai di dalam rumah, mereka berpapasan dengan Winda. Arka menyapa gadis itu dan memberikan senyum khas yang selalu memikat lawannya. Winda hanya membalasnya dengan senyum yang dia buat setulus mungkin, walau tetap terkesan dipaksakan.

Winda segera membungkukkan badannya dan mengambil beberapa piring bekas untuk disingkirkan. Arka segera berinisiatif membungkuk dan membantu Winda.

"Sini gue bantu, Win!"

Winda segera menoleh dan menepis tangan Arka yang akan mengambil alih tumpukan piring yang dia kumpulkan. "Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri kok. Bantu yang lain aja!"

Winda mengangkat piringnya dan bersiap berdiri. Saat berdiri gadis itu memejamkan matanya sejenak. Kebiasannya jika setelah jongkok lalu berdiri akan merasa matanya berkunang dan bayangan di depannya berputar yang membuat Winda sedikit terhuyung.

Arka segera menyangga tumpukan piring yang cukup berat itu. "Lo nggak papa, Win? Sini biar gue aja!"

Winda membuka matanya setelah mulai merasa membaik. "Nggak kok, Mas. Ini udah sering begini, cuma bentar doang."

Windayu : Pilihan Kedua [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang