Chapter 6

4.8K 335 22
                                    

Karina, Ibu dari saudara kembar Alvaro dan Alvano mengobati wajah Alvano yang penuh dengan luka lebam ulah dari Kakaknya sendiri. Sedangkan Alvaro tersungkur dilantai siap mendengar ceramah maupun menerima balasan atas kelakuannya sendiri dari Vincent, Ayahnya.

"Sekarang Papa tanya ke kamu Varo, liat mata Papa--- Kamu punya otak nggak sih dia itu adik kamu sendiri, kamu harusnya sebagai kakak melindungi bukannya mempunyai niatan ingin membunuh, sekarang kamu minta maaf ke adik kamu sekarang, buruan," pinta Vincent.

"Nggak akan pernah, sampai kapanpun Varo nggak akan pernah maafin Vano pa, apalagi minta maaf ke dia, ck, dia yang udah bikin Alleta meninggal bunuh diri karena depresi." jawab Alvaro ketus. Sampai kapanpun dirinya bertekad tidak akan memaafkan Alvano, rasa sayangnya sebagai seorang kakak sudah terkubur dengan amarah dan dendam di dalam hatinya, setiap kali dirinya memandang adiknya hanya ada kebencian dimata disana.

"Varo!" Vincent melontarkan pukulan di wajah anaknya, darah segar mengalir dipinggir bibir Varo.

"Vincent cukup." Karina berlari menghampiri Alvaro, mendekap anaknya dipelukannya.

"Mas kamu apa apaan sih nasehatin Varo biar nggak main kasar tapi kamu sendiri main kasar."

"Kamu nggak papa nak." Karina mengusap darah yang mengalir dari anaknya dengan tangannya lembut penuh kasih sayang.

"Kamu nggak usah belain anak nggak tau diri ini, didepan anaknya langsung bisa ngelunjak dia kalo dibiarin," ucap Vincent.

Karina berdiri, menatap tajam Vincent "Aku nggak belain dia mas, kamu juga yang ikut ikutan main kekerasan wajar Aku marah, Alvaro juga anak Aku, Ibu mana yang tega liat anaknya dipukul, Aku yang mengandung dia 9 bulan, kamu sih enak cuma ikut bagian bikinnya."

"Dia udah keterlaluan, gimana tadi kalo gurunya nggak datang anak kita Alvano bisa bisa meninggal dianiaya kakaknya sendiri," ujar Vincent.

"Mereka berdua masih labil mas, Aku yakin Alvaro nggak mungkin punya niatan untuk membunuh Alvano, mereka sudah besar, berkelahi atau perkelahian masih wajar diusia mereka." Karina mengangkat Alvaro untuk duduk bersebelahan dengan Alvano.

"Nak," Karina mengelus puncak kepala Alvaro "Alleta bunuh diri itu atas keinginannya sendiri, meninggalnya seseorang itu takdir, kita tidak bisa mencegah itu semua, kamu tidak bisa semata mata menyalah seseorang yang dekat dengannya atas kematian dia, setiap takdir punya jalannya masing masing, kamu harus bisa menerimanya."

Ingatan Alvaro tentang Alleta selalu berlarian di kepalanya, genggaman gadis itu setahun yang lalu masih bisa Ia rasakan, senyuman, tatapan, gelak tawa gadis masih teringat jelas detail.

Flashback on.

Alvaro menatap jauh pemandangan langit di atasnya, cerah dengan awan putih yang berkumpul membentuk bentuk bentuk yang entah tidak ia ketahui namun yang Ia ketahui hari ini adalah hari yang pas untuk menyatakan perasaan kepada wanita yang ia cintai, teman masa kecilnya dari sd sampai sekarang, sudah lama Alvaro memendam perasaannya, hari ini dia akan membuat gadis itu mengetahui perasaannya.

Alvaro tersenyum melihat kembali cincin yang akan Ia berikan dalam rangka peresmian hubungannya nanti.

"Dorr," teriak Alleta, Alvaro menoleh.

"Cie tumben tumbenan ngajak ketemuan pasti udah ada gebetan baru ya nih, Oh ya sebelum lo pamer gebetan, gue juga mau ngasih tau sesuatu," Alleta mengeluarkan buku kecil dari sakunya.

"Sabar ya Ro, gantian gue duluan masa setiap kali curhat lo mulu sih, jadi mulai sekarang gue udah nentuin siapa orang yang gue sukai dan gue bakal ngejar dia."

"Siapa." Alvaro menahan senyumnya, dalam hati berdebar mengharap cowok yang Alleta maksud itu dirinya.

"Alvano, adek lo, gue mulai suka sama dia, dan gue mau lo bantuin gue buat ndapetin dia, sekarang lo catet dibuku ini apa aja tentang dia ya Ro, kesukaan dia, apa yang dia nggak suka, kebiasaan dia, tanggal lahir dia, eh kalo tanggal lahir nggak usah deh gue udah tau pastinya kan sama kayak lo kan kalian kembar, pokoknya apapun itu deh catet aja," jelas Alleta panjang kali lebar.

Senyum dimuka Alvaro menjadi surut, wajahnya datar, hatinya terasa seperti ada yang mencabik cabik dengan kenyataan pahit bahwa Alleta mencintai Alvano. Definisi sakit tapi tidak berdarah.

Alvaro memasukan kotak cincin yang Ia genggam kedalam saku celananya, cowok itu berdiri dari duduknya "Nggak gue nggak mau, gue nggak tau." ucap Alvaro ketus.

"Ih boong banget, kalian itu saudara, kembar lagi masa nggak tau hal hal tentang dia," Alleta meraih lengan Alvaro, "please ya bantuin gue buat ngejar dia Ro, lo kan sahabat terbaik gue, ya masa lo nggak mau bantuin sih," Alleta memohon dengan wajah yang dibuat seimut mungkin.

"Hm, iya." jawab Alvaro singkat.

"Oh ya tadi lo mau ngomong apa," tanya Alleta.

"Bukan apa apa, nggak penting juga."

"Oh."

Flashback Off.

"Mulai sekarang motor kamu Papa sita, kamu harus bubarin geng geng apaan itu yang kamu bangun, meresahkan masyarakat Papa udah cukup stress dengan ulah kamu, laporan absen kamu yang sering alfa, balapan liar, kebut kebutan dijalan, mau jadi apa kamu kalo gini terus--- mulai sekarang kamu bubarin geng garnis kamu itu,"

"Gervanest mas," sela Karina.

"Terserah apa itu namanya."

Vincent mengusap kasar wajahnya, frustasi.

"Kamu besok sekolah antar jemput mobil kalo nggak mau kamu bisa naik angkutan umum, tapi Papa nggak akan main main sekarang, Papa bakalan sewa bodyguard kalo perlu buat ngawasin kamu supaya nggak bolos," ujar Vincent.

"Dengar nggak."

"Y," jawab Alvaro.

🍀🍀🍀

Mood naik turun nggak jelas, ada yang punya saran buat naikin mood? Kalo ada komen ya, caranya gimana. Serius punya ide banyak diotak tapi mood nggak mendukung nggak enak banget.

ALVARO NADIA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang