(02) Lapor Komandan | 181 cm VS 152 cm

141K 13.8K 932
                                    

Mami nampak sibuk mengurus beberapa berkas di ruang tamu. Aku sih santai-santai saja, toh semuanya sudah ditangani oleh Angkasa dan juga para orang tua, mana ngerti aku begituan. Ya paling pas pengajuan sih, Angkasa bilang aku mesti belajar lagi tentang kenegaraan, karena kan nantinya aku akan diuji mengenai kemampuan itu. Belum lagi aku juga harus mengetahui banyak hal tentang Angkasa. Ribet? Banget!

Temanku juga bilang, katanya bakal ada tes keperawanan. Tapi itu masih simpang siur sih, ada yang bilang cuma ditanya-tanya, ada yang bilang juga bener-bener diteliti secara fisik. Semoga saja nasibku baik, doakan ya kawan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana di tes hal tersebut sampai fisik, eughhh mengerikan.

"Lia! Bantuin Mami dong, kamu santai-santai mulu dari tadi," teriak Mami. Aku yang tengah berada di dapur mendengus malas. Mau tak mau aku harus menemui sang bunda ratu, jika tidak alamat uang jajan dipotong, oh tentu itu tidak bisa dibiarkan.

Aku duduk di samping Mami yang memakai kacamata minusnya. "Mami ngerjain apa sih itu?" Tanyaku penasaran.

"Ya ini surat-surat! Kan harus Mami sama Papi tanda tangani. Kamu ini! Mau nikah kok malah leha-leha terus sih, gimana jadi istri nanti."

Aku yang tengah membaca berkas di meja langsung menatap Mami malas. "Lagian suruh siapa jodohin aku."

"Mau ngelawan Mami kamu?" Mami mengangkat tangannya, aku otomatis langsung menutup tubuhku dengan tangan sebagai bentuk perlindungan. "Orang tua itu ngasih yang terbaik. Harusnya kamu bersyukur masih diperhatiin, lihat di luaran sana banyak tuh yang luntang-lantung gak jelas karena gak dapet perhatian dari orang tuanya, eh kamu malah ngegerutu terus kerjaannya."

"Iya deh iya, aku bersyukur punya Mami yang baik hati dan cantik tapi masih cantikan aku."

"Anak ini!" Mami menggeplak tanganku.

Aku mengaduh. "Sakit Mi!"

"Biarin! Kebiasaan kamu ngelunjak terus jadi anak!"

"Mami marahin aku terus, aku jadi males deh!" Aku cemberut dan langsung memalingkan wajah ke arah lain. Tak peduli dengan banyaknya berkas-berkas yang ada di meja.

"Lia .., kamu jangan gini dong. Nurut sama Mami, jadi anak baik kayak Gea tuh, kakak kamu. Biar ketularan punya keluarga yang harmonis juga kayak dia," ucap Mami dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya. Cih, lagi-lagi Gea yang dibanggakan, muak sekali aku mendengarnya. Terus saja Mi terus, bersikaplah seolah-olah aku ini anak pungut dari jalanan.

"Apa sih hubungannya aku sama Kak Gea? Gak ada! Hidup aku ya hidup aku Mi, aku yang jalanin gak ada hubungannya dengan siapapun!" Aku berdiri dari duduk. "Mending aku tidur kalau gini, Mami kerjain aja sendiri berkasnya, yang nyuruh Lia nikah Mami kan? Ya udah Mami urusin."

Ketika hendak beranjak menaiki anak tangga, Mami kembali memanggilku. Aku berbalik dengan malas, ada apa sih. Ribet banget dari tadi ibu-ibu satu ini. Udah tahu anaknya lagi pundung. Namun, saat melihat ada sosok Angkasa di sana aku mengerti.

"Kenapa?" Tanya ku pada Angkasa. Mami sudah pergi ke dapur untuk membuat minuman.

"Hari ini kita foto. Kamu sudah dapat bajunya kan?" Aku mengangguki pertanyaan Angkasa. Ya, beberapa waktu lalu Mami memang memberiku sepasang baju persit tanpa lencana karena aku masih berstatus 'calon', tapi anehnya aku malah diberikan yang model panjang, ya otomatis harus pakai kerudung dong, padahal kepingin aku sih yang pendek aja biar gak ribet.

"Kata Tante Bunga kamu sempat komplain karena bajunya panjang?"

Aku mengangguk. "Ribet, Ndan. Males aku kalau mesti pakai kerudung segala."

Lapor, Komandan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang