(30) Lapor Komandan | Tangis, Hujan dan Luka

73.1K 7.8K 284
                                    

Hari tanpa kegiatan. Pas sekali untuk kondisiku yang tengah datang bulan, bermalas-malasan dan tak melakukan apapun. Bahkan aku bangun jam 12 siang hari ini. Diingat-ingat, kapan ya terakhir kali aku menjadi pemalas?

Sendirian di rumah dinas, ternyata terasa sangat membosankan. Angkasa pergi bekerja, dan aku hanya menonton televisi yang isinya itu-itu saja. Kehidupan artis, sinetron yang selalu beralur sama, rasanya boring. Aku butuh sesuatu yang baru, tapi apa ya?

Ehhh, tunggu! Kenapa aku tidak main ke rumah Mbak Ais aja ya? Di sana kan ada Arthur, lagian udah lama juga aku gak ke sana.

Secepat kilat aku langsung mematikan televisi dan berganti baju. Lalu mengambil ponsel dan bergegas pergi setelah mengunci pintu rumah. Tenang, Angkasa pasti tahu di mana aku selalu menaruh kunci, jadi tidak usah risau jika pria itu pulang dan aku tidak ada di rumah.

Hanya butuh waktu 5 menit aku sampai di rumah dinas Mbak Ais. Di teras depan tampak sosok Arthur yang tengah bermain air menggunakan selang.

"Sore Mbak," sapaku pada Mbak Ais. Kebetulan sekarang sudah jam 3 kawan.

"Eh, Lia. Tumben kamu ke sini," ucap Mbak Ais.

Aku menghampiri Mbak Ais. "Biasalah Mbak, bosan di rumah, Mas Angkasa gak ada."

"Kamu gak kuliah emang?"

Aku menggeleng. Lalu berjalan mendekati Arthur. "Ihh, anak gede kok mandinya di luar sih," ejekku karena Arthur sudah telanjang bulat.

"Ndak apa, Atul kan masih ecil," jawabnya dengan bahasa yang belum jelas. Tapi aku paham. (Gapapa, Arthur kan masih kecil)

"Arthur udah gede ah, buktinya bisa mandi sendiri."

"No, no, no. Atul masih ecil." Aku tertawa melihat gaya bicaranya yang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Gemes deh Tante sama kamu," ucapku lalu mencubit pipinya. Karena tak mau kebasahan, aku kembali duduk di samping Mbak Ais yang sedari tadi memerhatikan.

"Mbak selalu ijinin Arthur buat lakuin yang dia mau ya?" Tanyaku.

"Nggak juga," jawab Mbak Ais. "Kalau sesuatu yang dia mau itu hal yang gak baik, Mbak juga gak akan kasih ijin."

Aku mengangguk-anggukan kepala mengerti.

"Li, kamu udah tahu semuanya ya?" Tanya Mbak Ais.

Aku mengernyit bingung. "Maksud, Mbak?"

"Ya itu, mengenai Angkasa yang dulu itu Abang kamu."

Aku ber'oh'ria, lalu selanjutnya tersenyum tipis seraya kembali memerhatikan Arthur. "Heeum. Mbak, kok tahu?"

"Bang Raka yang bilang." Aku hanya diam.

"Tapi Mbak liat-liat, kayaknya hubungan kalian masih biasa aja, emangnya Mas Angkasa gak ngerubah sikapnya gitu?" Tanya Mbak Ais melirikku.

Aku tertawa pelan. Selalu lucu mengingat kejadian sikap Angkasa yang berubah. "Berubah kok, Mbak. Drastis malah, sampai-sampai aku ngeri sendiri liatnya. Makanya aku nyuruh dia kayak biasa aja, pelan-pelan ubahnya biar aku gak kaget. Mas Angkasa serem kalau romantis, biasa galak soalnya."

Mbak Ais ikut tertawa mendengar kekonyolanku dan Angkasa. "Emang sih ya, Mbak juga gak bisa bayangin Mas Angkasa yang kaku dan jarang berekspresi kayak gitu tiba-tiba jadi orang yang perhatian. Aneh," ucap Mbak Ais. "Eh, kamu jangan cerita-cerita ya ke Mas Angkasa aku bilang gini."

"Ya, nggak lah, Mbak. Santai aja."

"Kamu kalau kesepian kenapa gak coba buat punya anak aja Li? Kan bisa dimulai dengan kalian saling menerima, maksud Mbak, kamu kan udah tahu Mas Angkasa siapa, jadi ya, harusnya kamu udah gak ragu buat hal itu. Apalagi itu kan emang sudah jadi kewajiban kamu, dan haknya Mas Angkasa."

Lapor, Komandan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang