(02) Extra Chapter

153K 10.5K 5.5K
                                    

Telah enam tahun semenjak kepergianmu kala itu. Angkasa, selama apapun kita berpisah, kenanganmu selalu melekat dalam  pikiranku. Tiap senyum yang tercipta di senyummu, masih setia terbayang-bayang dalam benakku.

Kemarahanmu, godaanmu, canda tawamu, aku selalu merindukan itu.

Sayang sekali rindu ini tidak bisa tertuntaskan kecuali dalam setiap untaian do'a yang tercurah.

Hei, Angkasa. Lihatlah, Komandan kecilmu bahkan sudah menjadi anak yang pintar sekarang. Namanya Langit Pangestu Dirgantara. Sengaja kuberi nama Langit, agar selalu melekat denganmu.

"Bunda!" Itu dia.

Aku tersenyum lalu merentangkan kedua tanganku, dan Langit pun langsung masuk dalam dekapanku.

"Udah selesai shalatnya?" Tanyaku. Langit, baru saja kembali dari masjid bersama Papi. Ya, Papi kini sudah sembuh, suatu anugerah yang aku syukuri.

Langit mengangguk. Sementara aku masih memakai mukena dan duduk di atas sajadah.

"Hari ini kan malam jum'at, kita baca yasin lagi kan, Bun?"

Aku tersenyum seraya mengangguk. Lihat, Mas. Anakmu bahkan selalu mengingat malam di mana kami berdua mengirimkan do'a untukmu. Betapa dia sangat menyayangimu walau tak pernah bertemu.

Aku mengambil dua buku Yasin dan memberikan pada Langit satu. Dia sebenarnya belum terlalu fasih, terkadang masih mengikuti ucapanku, tapi tak apa. Selagi hatinya tulus, dan hanya beberapa ayat, aku yakin do'a nya tersampaikan. Semoga saja.

"Ayah ganteng."

Kalimat yang selalu Langit lontarkan setiap membuka buku yasin dan melihat foto Angkasa terpajang di sana.

Aku mengelus rambutnya. "Langit juga ganteng, kesayangannya Bunda."

Langit mengecup foto Angkasa. "Langit sayang Ayah."

Aku tersenyum dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Kami pun mulai mengaji berdua, di kamar milikku. Karena aku memutuskan untuk tinggal bersama Mami dan Papi selama ini.

Setelah selesai. Kami memutuskan untuk tidur.

Aku mendekap tubuh Langit di tengah temaramnya kamar. Ku usap terus punggungnya agar ia tertidur.

Lagi-lagi, aku menghela napas. Menahan air mata yang selalu saja ingin keluar saat sebelum tidur.

Memang sudah enam tahun, tapi untuk melupakan Angkasa, itu bukan suatu hal yang mudah walau dengan waktu satu abad sekalipun.

Harusnya kamu juga ada di samping Langit, Mas. Membacakan dongeng, ataupun memberi cerita yang kamu punya padanya. Terkadang, aku merasa perih ketika harus menceritakan pada Langit, bagaimana kepergianmu, atau apa alasanmu pergi.

Karena .., perpisahan itu tak pernah ada dalam list kehidupanku. Semuanya terjadi dengan begitu cepat.

"Bunda."

"Iya, sayang? Kamu belum tidur?"

Langit menggeleng dalam pelukanku. "Aku mau cerita."

"Cerita apa, ini udah malam."

"Bulan depan acara kelulusan Langit, kata guru di TK, harus bawa Ayah sama Bunda. Tapi, Langit kan gak punya Ayah, apa Langit gak akan lulus?"

Hatiku bergetar mendengar pertanyaannya. "Nggak. Langit punya Ayah, hanya tempat kita saja yang sudah berbeda."

"Kenapa ya, Ayah gak pulang-pulang. Kata Bunda, kita pasti ketemu sama Ayah."

"Suatu saat nanti. Bukan sekarang."

"Tapi, Bunda, acara kelulusan Langit gimana?"

Aku menjauhkan tubuhnya dan menangkup kedua pipi Langit. "Hei, kamu masih punya Bunda di sini. Ada Kakek, Nenek, dan juga yang lainnya. Ayah nggak akan bisa hadir Langit, tapi Langit bakalan tetep lulus kok."

"Langit sedih. Semua temen Langit, punya Ayah. Sedangkan Langit___"

Aku memberi nada peringatan padanya. "Gak boleh gitu, sayang."

Langit terdengar menangis. "Langit pengin ketemu Ayah, Bunda. Langit pengin dipeluk Ayah. Semua temen Langit dapetin itu semua, kenapa Langit nggak."

Aku ikut menangis mendengar kalimat menyedihkan itu. "Maaf Langit, maaf." Aku terisak.

"Ayah gak sayang ya sama Langit, Bun?"

Aku menggeleng. "Ayah sayang banget sama kamu. Bahkan dulu, setiap Bunda hubungin Ayah yang selalu ditanyain itu kamu. Karena Komandan besar, selalu merindukan Komandan kecilnya."

Langit masih setia menangis. Aku menyatukan kening kami, dan menangis bersamanya.

"Langit, jangan nangis lagi, nanti Ayah di sana sedih."

"Bunda juga nangis."

Aku menjauhkan wajah kami dan mengusap wajahku membersihkan air mata di sana. "Nggak, Bunda udah gak nangis."

Langit terdiam sejenak, lalu melakukan hal yang sama sepertiku tadi.

Lalu ia berdiri di atas kasur menghadap tembok yang terpajang foto Angkasa.

Langit menggerakan tangannya hormat ke arah foto Angkasa. "Lapor, Komandan! Langit kangen, Langit pengin dipeluk Komandan. Tolong temuin Langit, walau cuma dalam mimpi."

Sudah ya begitu saja extra chapter ini gamau panjang-panjang🤭
Mau kasih bonus foto Angkasa nih

(Semoga gak kejang-kejang) wkwkwk bercanda

Hayoo tebak Komandan yang mana😋Eh iya sedikit info, buat yang follow akun visualnya Angkasa, jangan heran kenapa gak dikonfir-konfir, karena pas aku tanya ada 700 akun lebih yang minta acc😭 dan dia kayak males, capek buat ituin satu-satu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hayoo tebak Komandan yang mana😋
Eh iya sedikit info, buat yang follow akun visualnya Angkasa, jangan heran kenapa gak dikonfir-konfir, karena pas aku tanya ada 700 akun lebih yang minta acc😭 dan dia kayak males, capek buat ituin satu-satu. Jadi sepintar-pinternya ajadeh😂

Btw follow ig : yunai.stories
Yaaa
Biar gak ketinggalan informasi, mengenai cerita-ceritaku ini. Karena aku udah kirim naskah ke penerbitnya dan tinggal proses lainnya.
Mungkin butuh waktu sebulan lebih, jadi kalian bisa nabung dari sekarang.

Pokoknya mah bersedih-sedih dahulu bersenang-senang kemudian wkwkwkwk

Yang mau curhat ke sana atau tanya-tanya sok aja. Karena HPku sepi banget geng serius. Semenjak Angkasa tamat, bingung mau apalagi. Aku gabut banget, tolong. (Padahal tugas numpuk skskakak) gapapa, tapi kalau kalian dm mah aku tanggapin🤭

Maap ya kelamaan updatenya, sengaja aku rencanain setelah revisi naskah selesai hihi.

See u guys!

Bogor, 31 Mei 2021.

Lapor, Komandan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang