(28) Lapor Komandan | Dokter Rindu

72.8K 7.9K 724
                                    

Angkasa menutup pintu dan maju hingga aku melihat Radit mundur secara perlahan. Sama sekali tak ada kesulitan pada cara jalan Angkasa, padahal tadi pagi pria itu mengeluh perutnya sakit. Disatu sisi aku kesal karena telah dibohongi, di sisi lain aku juga takut Angkasa menyerang Radit seperti dulu.

"Mas..."

Aku hendak maju tapi Angkasa memberi kode lewat tangannya agar aku berhenti. Aku menurut. Memantau kedua laki-laki yang ada di hadapanku. Selagi Angkasa tak bermain fisik, aku masih diam. Karena berabe kalau itu sampai terjadi, ruangan ini terdapat CCTV dan aku tidak mau Angkasa kembali terkena masalah.

"Bisa kamu ulangi ucapan tadi di depan wajah saya?"

Aku meneguk ludah dengan sulit. Sementara Radit, cowok itu juga tampak terdiam tapi masih terlihat berani.

"Kamu bukan cowok pecundang yang hanya berani bicara di belakang bukan?" Angkasa kembali bersuara. Kedua tangannya dilipat di depan dadanya.

"S-saya minta maaf, Mas." Suara Radit terdengar pelan.

"Apa?" Selanjutnya Angkasa tertawa meremehkan. "Padahal tadi kamu menggebu-gebu sekali membicarakan saya. Kenapa sekarang seperti anak bayi?"

"Saya gak maksud buat yang tadi. Saya cuma emosi perihal kemarin."

"Lalu dengan kamu emosi wajar jika membuat tuduhan-tuduhan yang tidak benar tentang saya?"

"Saya rasa itu fakta, saya tidak menuduh karena memang benar adanya," jawab Radit. Kali ini suaranya terkesan lebih berani.

"Radit, Radit." Angkasa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu kalau tidak mengerti apa-apa tentang saya, tidak usah banyak berspekulasi. Itu hanya akan membuat diri kamu malu."

"Saya gak malu, Mas," jawab Radit. "Bukannya emang bener aparat modelan Mas itu bermuka dua, baik di depan kami, baik juga di depan pejabat. Sebenarnya kalian ini ada di pihak siapa? Itu yang saya gak habis pikir!"

"Saya tidak pernah memihak siapapun." Angkasa berkata dengan serius. "Dan kalau saya baik di depan pejabat, di depan kalian itu harus jahat? Begitu? Kamu ini umur berapa Radit, pikiranmu terlalu bocah untuk ukuran mahasiswa semester akhir."

Tubuhku rasanya ingin sekali menarik Angkasa. Tapi otakku berkata lain. Malah membiarkan perdebatan ini berlanjut hingga semakin memanas.

"Harusnya Mas adil, pejabat udah rugiin kita, kenapa kita nyerang balik mereka gak diizinin?"

"Cara kamu salah!" Bentak Angkasa. "Kalau kamu balas hal yang serupa, apa bedanya kamu sama mereka!"

Waw! Aku kalau jadi Radit udah kena mental kayaknya. Bentakannya itu lho, menggema seisi ruangan. Biasanya suara itu cuma Angkasa pakai buat prajurit yang melakukan kesalahan, sekarang Radit kena.

"Kamu kalau benci dengan saya tidak usah ditahan. Keluarkan, saya tidak suka melihat cowok pecundang macam kamu. Hanya berani bermain di belakang, bahkan sampai membentak istri saya."

"Terus kenapa kalau gue bentak istri lo? Lagipula kayaknya lo lebih pecundang daripada gue." Radit menunjukan senyum sinisnya. Oh, sial, singa Angkasa pasti terbangun sebentar lagi.

"Bilang apa kamu sekali lagi?"

"Lo itu pecundang Angkasa!" Sentak Radit. "Lo aman karena berlindung di belakang bokap lo! Seharusnya lo kena masalah gara-gara udah nyerang gue kemarin, tapi ternyata lo anak Papa juga ya." Radit tertawa meremehkan.

Aku langsung berlari saat tangan Angkasa mengudara dan hendak meninju Radit.

Bug!

Ugh, sial. Kenapa harus aku yang kena!

Lapor, Komandan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang