(27) Lapor Komandan | Ternyata ...

73.1K 8K 720
                                    

Angkasa sudah diperbolehkan pulang sejak kemarin malam, sebenarnya bukan diperbolehkan sih cuma Angkasa yang maksa. Dia gak terlalu nyaman di rumah sakit katanya, padahal aku suka. Maksudnya aku suka suasana rumah sakit, wangi obat-obatan, bersih, terus beda aja gitu, kalian sama gak si?

Tapi emang dasarnya belum terlalu sembuh, ya di rumah aku yang memang direpotkan. Makan disuapin, mau ke kamar mandi aja harus aku rangkul. Aku curiga Angkasa cuma modus, secara kan kemarin aja sebelum dijahit muka dia biasa aja tuh, pas udah kok malah kayak tersiksa.

"Kamu gak hubungin Papa sama Mama kan?" Tanya Angkasa saat aku melepas rangkulannya. Sementara pria itu sudah istirahat di kasur.

Aku menggeleng. "Katanya kan gak boleh."

Angkasa mengangguk-anggukan kepalanya. "Li, badan saya lengket," adunya membuatku mengernyit bingung.

"Terus?"

"Kamu bisa tolong lap-in badan saya gak?"

Mataku membulat seketika. Nggak! Gak bisa, takut khilaf!

"Aku harus berangkat kuliah sebentar lagi, Ndan." Aku mengeles dengan wajah yang dimelas-melaskan supaya Angkasa percaya.

"Jadwal kamu masih satu jam setengah lagi."

"Kok, tahu?" Tanyaku kaget, padahal aku gak pernah ngasih dia jadwal kuliahku.

Angkasa tak menjawab, ia malah membuka bajunya di depanku. Pemandangannya emang udah biasa, tapi itu lho, aduh gak bisa aku liat badannya yang bagus tanpa dipeluk-peluk, hikddd.

"Cepetan."

"Ish!" Aku keluar dari kamar untuk mengambil air dari kamar mandi, sekaligus handuk kecil yang digunakan untuk me-lap tubuh Angkasa. Kok jadi ngerasa de javu ya? Dulu Angkasa yang lap tubuh aku pas sakit, sekarang gantian. Apa ini yang namanya saling melengkapi? Aduh, mikir apa sih Lia.

Setelah selesai, aku langsung kembali ke kamar. Angkasa malah sibuk dengan ponselnya.

"Aku mulai dari mana?" Tanyaku bingung.

"Terserah," jawab Angkasa tanpa mengalihkan perhatiannya.

Aku mendengus melihat itu. Dengan sedikit menahan dongkol, aku memeras handuk kecil tadi dan mulai men-tap tap leher Angkasa, kayak olahraga, dimulainya dari atas. Lalu turun ke bagian dadanya.

Ya Allah, kuatkanlah iman hamba. Ini keras banget lagi huhuhu. Pertama kalinya pegang badan Angkasa ternyata segemeter ini. Soalnya kemarin pas di rumah sakit perawat laki-laki yang bersihin badannya.

Saat di sekitar jahitan perutnya aku melap dengan sangat hati-hati.

"Ini sakit gak sih, Ndan?"

"Nggak."

Aku menatapnya. "Terus kalau gak sakit kenapa sampai jalan aja harus aku rangkul?"

Angkasa tak menjawab. Malah terus sibuk dengan ponselnya, aku kesal. Tanpa sengaja menekan kencang perut Angkasa, pinggiran yang dekat dengan jaitan pria itu.

Angkasa memekik kecil.

"Eh, maaf, maaf, sengaja."

Kedua mata Angkasa menajam. "Maksudnya, gak sengaja," lanjutku.

Angkasa tak lagi menanggapi, syukurlah. Daripada kena semprot mending aku lanjut bersihin badannya. Setelah di bagian perut, aku mulai membersihkan punggung Angkasa. Dahiku mengernyit bingung melihat seperti ada bekas luka di pundaknya.

"Ini kenapa, Ndan?" Tanyaku menyentuh luka tersebut.

"Cuma ketembak dikit waktu latihan," jawabnya enteng.

Lapor, Komandan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang