(47) Lapor Komandan | Hari Terakhir

69.7K 7.6K 299
                                    

Hari ini aku dan Angkasa memutuskan untuk menjenguk Papi di ruang ICU. Karena besok Angkasa sudah harus berangkat, dan ia juga ingin berpamitan katanya. Aku manut aja, memang udah kangen juga sama Papi, lama gak ketemu. Rasanya pengin cerita banyak hal sama Papi tapi gak bisa. Apalagi dengan keadaan koma kayak gini.

"Ndan, kalau aku nangis jangan disuruh berhenti ya," ucapku sebelum kami berdua memasuki ruangan.

"Kenapa?"

"Nanti aku malah makin kejer."

Angkasa tertawa kecil lalu mengangguk. Setelah memantapkan hati, aku menggenggam tangan Angkasa dan kami berdua masuk bersamaan ke ruang ICU. Sejak saat itu juga air mataku langsung luruh melihat kondisi Papi. Hidupnya hanya bergantung pada alat-alat yang menempel di tubuhnya, bahkan Papi sudah tak sebugar dulu lagi, badannya terlihat lebih kurus.

Kedua mata yang biasanya menatapku dengan penuh sayang kini terpejam erat dan entah kapan akan terbuka, mulutnya yang biasa melontarkan berbagai candaan padaku kini terbungkam seperti enggan untuk dibuka. Papi, Lia kangen banget sama Papi.

Angkasa mengelus tanganku dengan lembut. Pria itu benar-benar menuruti ucapanku.

"Papi..." Aku menatap lirih. "Maafin Lia baru bisa dateng sekarang."

"Saya juga ada di sini Pi," ucap Angkasa.

Aku duduk pada kursi yang diberikan Angkasa. Aku terus menatap Papi yang rasanya pengin banget aku ajak buat story telling, bertukar cerita tentang kehidupan kami setelah berpisah. Apa Papi sedih tidak ada aku di rumah, atau merasa kesepian.

Angkasa dengan setia mengusap bahuku yang terguncang.

"Papi harus bangun ya, Lia butuh Papi sekarang, Mas Angkasa mau pergi, Lia sendirian lho Pi di sini, katanya Papi gak tega kalau liat Lia sendiri." Aku terisak lalu menutup mulutku lantaran merasa tak kuat melihat Papi. "Lia pengin Papi sehat lagi kayak dulu, kita jalan-jalan, Papi jajanin aku, Papi jailin aku, ayo Pi, Lia kangen banget tahu, masa Papi nggak sih?"

"Papi udah mau punya cucu lho, apa masih tetep gak mau bangun juga? Padahal bikinnya butuh perjuangan banget tahu. Papi pasti gak nyangka kan sosok Mas Angkasa yang kaku bisa nyetak gol juga? Awalnya juga aku gak nyangka," ucapku tertawa lirih, niat ingin menghibur hati tapi malah semakin mellow. Sial, makin cengeng aja gue.

"Tapi ternyata malah jadinya secepet ini, huhuhu." Aku gak tahu itu nangis atau ketawa. Intinya campur. "Pokoknya aku lahiran nanti Papi harus udah bangun, udah Mas Angkasa yang gak kasih kepastian bakal pulang atau nggak, masa Papi mau ikutan gak bangun kalau cucu Papi udah lahir nanti? Gak kasian apa Pi, kan Lia juga pengin ditemenin."

"Ndan..." Aku menatap Angkasa yang masih setia berdiri. "Sini, ikutan duduk sama aku."

"Saya di sini aja."

"Duduk, Mas," ucapku dengan sedikit tekanan.

Setelah itu Angkasa mengambil satu kursi dan duduk di sampingku. Kini, aku mengambil tangan Angkasa dan menggenggamnya, aku tersenyum di tengah wajahku yang berlinang air mata.

"Liat, ini pria yang udah Papi percaya buat jaga aku. Aku gak nyesel udah nikah sama Komandan ganteng yang galak tapi sayangnya aku gak bisa kehilangan dia. Dia berhasil lindungin aku selama ini, ketakutan Papi gak akan terjadi selama Mas Angkasa selalu ada di samping aku."

"Tapi besok dia harus pergi bertugas ke Papua, Lia sedih Pi. Kalau boleh minta, Lia pengin Mas Angkasa jaga Lia terus, gak boleh ke mana-mana. Tapi Lia sadar, kalau suami Lia tentara, mau bagaimanapun keadaannya, negara harus tetap menjadi nomor satu, iya kan?" Aku menatap Angkasa, pria itu mengangguk perlahan.

"Papi bener, Mas Angkasa mungkin memang bukan guru. Tapi dia sosok suami yang bener-bener bikin Lia merasa beruntung karena jadi istrinya."

Aku menyender pada bahu Angkasa. Tangan pria itu mengusap air mataku yang tersisa.

"Papi, maaf saya harus meninggalkan Lia di saat-saat seperti ini. Semestinya saya menjaga Lia dan anak yang ada di dalam kandungannya, tapi tugas negara sudah memanggil saya. Saya sudah tidak bisa bertindak apa-apa lagi selain pergi meninggalkan mereka."

Aku berusaha menahan sesak yang ada di dalam hatiku. Berusaha untuk tidak lagi menangis.

"Tapi saya janji, saya akan pulang kembali pada Lia. Sekalipun itu membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya."

"Komandan..." Lirihku dan menangis dalam pelukannya. "Kenapa kata-katanya menusuk banget?"

Angkasa tak merespon. Ia malah tetap fokus pada Papi. "Saya yakin Papi pasti bangun. Nanti saya titip Lia ya Pi, jaga Lia di saat saya gak ada."

"Tuh, Papi denger kan? Menantu Papi udah siap banget buat ninggalin Lia, pokoknya Papi bangun ya. Lia selalu nunggu Papi, dan juga Mas Angkasa. Kalian selalu Lia tunggu untuk pulang."








______________






Aku duduk bersama dokter Rindu di kantin rumah sakit. Sementara Angkasa izin pergi karena ada urusan, aku gak tahu dia ke mana, karena gak nanya. Yaiyalah gak nanya, orang habis izin dia langsung pergi, katanya sih masih disekitaran rumah sakit urusannya.

"Nafsu makan kamu berkurang ya selama hamil?" Tanya dokter Rindu.

Aku sontak menggeleng. "Ah, nggak kok, dok. Aku biasa aja, justru Mas Angkasa yang kehilangan selera makan sama mual-mual."

"Oh, ya? Wah, berarti ikatan batin antara bapak sama anaknya kuat banget ya."

Aku tersenyum menanggapi ucapan dokter Rindu dan mulai memakan nasi yang sedari tadi hanya kuaduk-aduk.

"Kamu jangan terlalu mikirin yang berat-berat Li, kasihan sama debaynya. Nanti stres lho."

Aku menghela napas. "Gimana ya Mbak, aku ini tipe orang yang gak bisa ditinggal jauh apalagi dalam jangka waktu lama. Eh, malah jadi istri tentara. Begini deh akhirnya." Aku tersenyum paksa.

"Di setiap pernikahan itu pasti ada aja krikil-krikil yang harus kita lewati. Entah bentuknya besar atau kecil. Intinya kunci dari semua itu adalah sabar."

"Aku sabar kok, Mbak. Banget malah. Kalau gak sabar mah, udah aku iket deh Mas Angkasa di rumah, biar gak nugas."

Dokter Rindu terkekeh. "Ada-ada aja kamu, Li."

"Mbak sih enak suaminya bisa ketemu tiap hari, kalau aku, aduh diduain terus sama negara."

"Siapa bilang? Aku juga diduain terus kok sama berkas, hahaha."

"Tapi kan pekerjaan suami Mbak, resikonya nggak sebesar Mas Angkasa. Jadi bisa santai-santai aja."

"Nggak gitu juga, Li. Mana ada istri yang santai-santai aja kalau suami kerja, misalnya cowoknya dokter, pasti dia takut suaminya kepincut orang lain, contohnya sama pasien atau suster. Terus, kalau cowoknya direktur, bisa aja main sama karyawan. Atau kalau suaminya pilot, bisa aja meninggal pas lagi bawa pesawat. Pokoknya tugas kita cuma berdo'a, minta yang terbaik sama Allah, pasti dikabulin kok. Walau yang terbaik itu mungkin sedikit menyakitkan buat kita."

Aku mengangguk-anggukan kepala mengerti. "Selain jadi dokter, Mbak kayak mario teguh juga ya."

Setelahnya kami tertawa bersama.










































Chapt ini banyak dialog ya kawan🤭

Tadinya gak mau udpate dulu, eh udah ada yang nunggu sampe bulak-balik, karena aku orangnya gak tegaan yaudah gaskeun aja wkwkw.

Hari terakhir bersama pak Komandan😝

See u next chapter!

Bogor,  15 Mei 2021.

Lapor, Komandan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang