Andai bisa, aku pengin memutar waktu, di mana sosok Angkasa masih bisa menyapaku dengan nyata. Rasanya aku ingin tak percaya, memikirkan bahwa kabar kemarin hanyalah mimpi belaka, atau jebakan Angkasa yang ingin memberiku kejutan pada detik-detik hendak melahirkan. Tapi nyatanya, itu hanya harapan semu.
Aku menangis sejadi-jadinya. Memberontak tak terima, dan menginginkan Angkasa kembali seperti sedia kala.
Janji Angkasa sudah seperti angin lalu yang hilang begitu saja.
"Nanti Ayah pulang ya, sebentar lagi kok."
Andai aku tahu maksud pulangnya hanya membawa nama, aku pasti tidak akan membiarkan sambungannya terputus begitu saja.
Mas Angkasa .., jadi ini alasan kenapa tiba-tiba kamu pengin aku panggil Mas?
Ini alasan kenapa kamu tiba-tiba jadi selalu senyum tiap aku telpon?
Ini alasan kenapa kamu selalu kasih perhatain bahkan panggil aku sayang?
Kenapa kamu menorehkan kenangan terlalu manis untukku? Kenapa!
Kamu tahu kan, aku punya siapa di sini? Cuma kamu sama Papi! Sekarang Papi kembali dan kamu malah pergi selama-selamanya? Permainan kamu gak lucu Angkasa. Sama sekali nggak.
Aku menangis tak kuasa melihat jenazah Angkasa yang sudah terbaring kaku di hadapanku. Tidak akan ada lagi ceramah yang keluar dari mulutnya, tidak akan ada lagi senyum yang menghiasi bibirnya, tidak akan ada lagi yang menghiburku lewat kata-kata anehnya. Angkasa .., kenapa harus secepat ini?
"Mas Angkasa bangun..." Aku menggoyangkan tubuhnya. Sedari tadi sudah banyak orang yang menyuruhku untuk ikhlas, tapi susah. Mungkin aku gak akan bisa.
"Katanya Mas janji mau temenin aku lahiran, mana? Ayo bangun, Komandan kecil butuh, Mas." Aku terisak terus menatap wajahnya yang setia terpejam.
"Siapa kemarin yang gak sabar mau jadi Ayah? Tinggal beberapa hari lagi, kenapa Mas harus pergi?"
"Tugas kamu jaga aku belum selesai, Mas!" Aku menggelengkan kepala tak terima.
"Ayo marahin aku! Kenapa Mas diem aja sekarang?"
"Lihat Mas!" Aku menunjuk album foto yang tertempel pada dinding. Tak peduli dengan tatapan orang-orang. "Kamu gak mau rangkul aku lagi kayak di foto itu?"
"Lia sudah ya..." Mama Ayu menarik tanganku. Aku berbalik, menatap Mama Ayu dengan wajahku yang sudah basah, kedua mataku bahkan sangat sembab lantaran tak henti-hentinya menangis.
"Mas Angkasa pergi Ma.., kenapa Mama diem aja? Ayo tahan anak Mama yang nakal itu, Lia gak bisa. Lia mau sama Mas Angkasa," isakku tak ada henti.
"Sayang, Angkasa sudah gak bisa kembali lagi. Angkasa udah tenang di sana, kamu harus ikhlas ya."
"Tapi Mas Angkasa janji sama Lia bakal kembali, Mas Angkasa bilang mau temenin Lia lahiran. Waktu itu Lia seneng banget Ma, tapi kenapa sekarang Mas Angkasa malah gak bangun-bangun?"
Mama Ayu memelukku dengan begitu erat. Kami menangis bersamaan, tatapanku tak pernah lepas dari wajah Angkasa. Ini cuma mimpi kan? Tolong bilang aku kalau ini cuma mimpi.
Aku terus menggeleng tak terima.
"Mas Angkasa, jangan tinggalin aku."
Tiba-tiba Dion dan orang tuanya datang. Aku langsung menatap pria itu.
"Dion, cepet bangunin Mas Angkasa!" Ucapku menarik lengan bajunya.
Dion malah terdiam. Aku terus menangis dalam pelukan Mama Ayu. Dapat aku lihat bahu Dion bergetar hebat, ia menutup wajahnya dengan tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lapor, Komandan! [END]
General FictionBagi orang-orang, dijodohkan dengan sosok tentara yang tampan, macho, mungkin suatu keberuntungan. Tapi tidak bagi Lia, menurutnya ini sangat membosankan, kehidupannya yang ceria berubah menjadi kaku saat ia harus tinggal seatap dengan pria berwajah...