Berkali-kali aku menghela napas gusar di dalam kamar mandi, mungkin sudah 10 menit berlalu dan aku tak juga kunjung keluar. Padahal hanya berganti baju. Rasanya takut banget buat keluar, apalagi nemuin Angkasa yang udah kayak kucing garong, eh salah singa yang lagi lapar. Atau marah.
Lagian kenapa sih aku juga sebodoh itu ikutin kata Tita? Padahal harusnya aku istiqomah! Maksudnya, tetap pada pendirianku untuk pulang ke rumah, bukan malah pergi ke pesta nya Radit dan lebih parahnya lagi berbohong pada Angkasa.
Aku tidak menyalahkan Tita, tapi diriku sendiri. Ya tapi mau menyesalipun percuma, semuanya sudah terjadi. Angkasa pergokin aku gara-gara ditelpon Dion yang nyebelin, lalu Angkasa hajar Radit sampai babak belur, Angkasa yang auranya semakin tak bersahabat sejak tadi. Oh, ayolah kalian kalau ada di posisi ku juga pasti akan ketar-ketir kan?
Karena merasa pegal berdiri, akupun melangkah ke luar, mengintip sedikit ke arah Angkasa yang tengah duduk di kursi ruang tamu dengan laptop di pangkuannya. Apa tidak jadi ya bicaranya? Sepertinya Angkasa juga sedang sibuk.
Karena merasa Angkasa tidak jadi mengintrogasi, akupun beralih masuk ke dalam kamar.
"Mau ke mana?" Itu suara Angkasa. Muncul ketika tanganku baru saja hendak memegang gagang pintu.
Aku gelalapan. "M-mau taruh baju kotor, Ndan."
"Keranjangnya di dekat kamar mandi, bukan di kamar tidur." Aku semakin mati kutu. Bodohnya kau Lia, tapi untung saja baju kotor tadi masih ada dalam genggamanku.
"Lupa."
Sedikit berlari aku langsung menaruh bajuku di tempatnya. Lalu, kembali dan menghampiri Angkasa. "Bicaranya jadi, Ndan?" Tanyaku dengan sedikit hati-hati.
Angkasa berdehem, tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya dari laptop. "Duduk."
Aku mengikuti perintahnya. Duduk dengan kedua tangan yang saling memilin lantaran gugup dan takut. Angkasa rasanya semakin menegangkan sekali, ini kayak lagi berhadapan sama genderewo dibanding manusia.
"N-ndan, kapan mulai bicaranya? Aku ngantuk."
"Sabar, saya sedang ada kerjaan," jawabnya singkat. "Di club saja kamu semangat joget-joget, di rumah pura-pura ngantuk," sindirnya tanpa menatapku sedikitpun.
Aku cemberut, merasa tak terima karena aku memang beneran ngantuk, ingin marah tapi rasanya tidak mungkin. Tahan Lia, tahan.
"Aku minta maaf, janji gak bakal ulangi lagi."
"Saya gak butuh janji kamu, yang saya butuh pembuktian."
"Iya, nanti aku usaha buat gak kayak gitu lagi."
"Jangan nanti, nanti. Mulai dari sekarang."
Aku mendesah kesal. Dia ini niat mengajak berbicara atau tidak sih? Dari tadi fokusnya ke laptop terus, aku jadi merasa tidak dihargai kalau gini. Mencoba untuk sabar, akupun kembali berkata pada Angkasa dengan nada pelan, "sebenernya aku juga nggak mau bohong sama Ndan, tapi kata Tita gapapa lagipula udah lama aku gak habisin waktu sama mereka."
"Kamu sudah bukan anak gadis lagi Lia, kamu istri saya."
Aku mendelik. "Aku masih gadis ya! Enak aja!"
"Bukan itu maksud saya ..." Angkasa terdengar menggeram. "Kamu bukan lagi remaja yang bisa bebas keluyuran ke sana ke sini, tanpa izin saya. Kamu seorang istri Lia, sudah sepantasnya untuk selalu dengar dan patuhi apa kata saya, bukan seperti tadi."
"Aku ini masih muda Ndan, bahkan umurku aja masih 21 tahun! Harusnya Ndan ngerti kehidupanku itu gimana, masih pengin ngerasain indahnya masa-masa muda, jalan sama temen, lepas penat ke sana ke sini. Lagipula kita ini cuma dijodohin, maaf ya Ndan aku lancang, tolong jangan marahin aku habis ini. Aku tahu kok Ndan tadi ke club cuma buat formalitas karena ada Dion, sepupu Ndan. Tapi kenapa sampai rumah Ndan masih tetep kayak gini? Kita itu gak nikah kayak kebanyakan orang! Kita gak saling cinta dan harusnya Ndan gak sekeras ini sama aku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lapor, Komandan! [END]
General FictionBagi orang-orang, dijodohkan dengan sosok tentara yang tampan, macho, mungkin suatu keberuntungan. Tapi tidak bagi Lia, menurutnya ini sangat membosankan, kehidupannya yang ceria berubah menjadi kaku saat ia harus tinggal seatap dengan pria berwajah...