"Ndan, aku mau masak dulu."
Berkali-kali aku menghela napas melihat kelakuan Angkasa. Kalian tahu? Angkasa sudah mirip seperti bayi besar yang selalu menempel pada ibunya sekarang. Bahkan setelah shalat isya tadi Angkasa terasa enggan melepaskan pelukannya dari tubuhku.
Suka sih dipeluk Angkasa, tapi kan aku juga harus masak, beres-beres rumah, dan banyak lagi lainnya.
"Nanti aja."
"Komandan kan belum makan, bubur dari Mbak Ais aja gak habis."
"Saya gak laper."
"Ya tapi aku yang laper sekarang."
Bibirku mencebik.
Angkasa melepas pelukannya saat itu juga. Kami saling bertatapan. "Maaf."
"Ndan, gak perlu minta maaf." Aku beranjak dari tidur dan menguncir rambutku menjadi satu. "Aku masak dulu ya?"
Angkasa mengangguk. Selepas itu aku langsung keluar kamar dan mulai bergelut dengan peralatan dapur. Aku sebenernya kebingungan sama sikap Angkasa, masa ada penyakit yang sembuhnya cuma pakai pelukan istri? Aneh gak sih?
Diajak ke dokter tapi Angkasa nolak terus. Dasar, badan doang besar sama suntikan segede uprit aja takut. Cih.
Saat aku tengah menumis bumbu, tiba-tiba saja Angkasa berlari ke dalam kamar mandi. Sontak aku langsung menghampiri pria itu, memijat tengkuknya. Aku meringis tak tega melihat Angkasa yang muntah-muntah, walau gayanya sok kuat tapi ekspresinya gak bisa bohong kalau tubuh Angkasa itu lemas.
"Ke dokter aja ya, Ndan?" Ajakku khawatir.
Angkasa menggeleng. "Nggak perl___" Angkasa kembali memuntahkan sesuatu yang hanya berisi cairan.
"Aku gak tega liat Komandan kayak gini."
Angkasa membasuh mulutnya dengan air lalu berdiri tegap menghadapku. "Saya gapapa."
"Tapi dari tadi Komandan muntah-muntah terus, aku takut kenapa-napa."
"Paling masuk angin." Tangannya bergerak merangkul bahuku. "Saya cuma butuh kamu."
Angkasa menuntunku menuju dapur, pria itu menyuruhku kembali melanjutkan kegiatan masakku yang sempat tertunda dan ia memerhatikan dari kursi meja makan.
"Komandan beneran baik-baik aja?" Tanyaku lagi, sesekali meliriknya.
Angkasa berdehem.
"Muntah-muntahnya sejak kapan sih?"
"Tadi siang."
"Komandan salah makan kali."
"Saya gak tahu."
Lalu, terdengar decitan kursi yang menyatu dengan lantai, aku melihat Angkasa mengambil gelas dan menuangkan air panas dicampur dingin lalu diminumnya.
"Masih eneg ya?" Aku bersender pada tembok dapur.
Angkasa mengangguk dan menaruh gelasnya. Lalu, tiba-tiba saja tangan pria itu menarikku. "Kamu masak di sini," titahnya. "Saya peluk kayak gini."
Jantungku berdetak dengan sangat kencang saat merasakan Angkasa memeluk tubuhku. Kepalanya disenderkan pada bahuku yang kecil, tapi pria itu tak terlalu menekannya. Bahkan lilitan tangannya pada perutku sangat erat seperti enggan untuk dilepas.
"Ngh.., N-ndan a-aku___"
"Hm?"
"A-aku___"
"Kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lapor, Komandan! [END]
General FictionBagi orang-orang, dijodohkan dengan sosok tentara yang tampan, macho, mungkin suatu keberuntungan. Tapi tidak bagi Lia, menurutnya ini sangat membosankan, kehidupannya yang ceria berubah menjadi kaku saat ia harus tinggal seatap dengan pria berwajah...