Tanggal 1 September. Awal bulan yang terasa berat aku lalui. Hanya tinggal menghitung hari Angkasa bertugas, itu artinya aku harus siap lahir batin untuk ditinggalkan bukan?
Di sepanjang pembelajaran, fokus ku sangat kurang terhadap dosen. Rasanya stres sekali, belum lagi aku harus siap dengan skripsi dalam jangka waktu dekat. Kalau begini bawaannya pengin berhenti kuliah, tapi tanggung.
Jam mata kuliahku telah selesai, tepat pada jam 4 sore. Aku merenggangkan tubuhku yang entah kenapa sering terasa pegal sekali akhir-akhir ini. Lalu beranjak pergi menuju masjid yang berada di area kampus.
Mengenai Tita dan Gigi, kita gak selalu berada dalam kelas yang sama. Jadi ya sering kepisah-pisah dan ketemu juga harus janjian. Tapi untuk kali ini, aku cuma pengin pulang dan memeluk erat guling kesayanganku, yaitu Angkasa.
Hanya butuh waktu 10 menit, aku telah selesai shalat asar dan hendak siap-siap untuk pulang. Ketika memakai sepatu, aku melihat sosok Radit terlihat melamun di depan teras masjid.
Entah keinginan dari mana, aku berjalan menghampiri Radit dan duduk di sebuah tembok tepat di hadapannya. Cowok itu mendongak, dan tampak terkejut melihatku. Saat aku melihat gerakannya yang terburu-buru dan seperti hendak pergi, aku langsung mencegahnya.
"Lo mau ke mana, Dit?"
Radit menggeleng. Gerakan tangannya terlihat cepat memasang tali sepatunya.
"Gue tahu apa alasan lo ngejauh." Gerakan Radit terhenti. "Mas Angkasa gak akan laporin lo ke polisi cuma gara-gara ngobrol sama gue kok."
Radit menatapku. "Lo masih sudi ngobrol sama gue?"
"Gak sudi kenapa? Emang lo setan?"
Radit mengalihkan pandangannya ke arah tanah. Aku menghela napas. Sangat kentara sekali perubahan sikap cowok itu, Radit yang tadinya narsis, pede dan berani mengungkapkan perasaannya padaku, lalu tiba-tiba menjadi sosok pembenci dan sekarang? Radit seolah-olah menganggapku sebagai orang yang bisa saja membunuhnya detik itu juga.
"Mas Angkasa larang gue buat ketemu lo lagi."
"Nyatanya, kita masih akan tetap ketemu kan? Orang satu kampus."
"Bukan itu maksud gue." Radit melempar batu kecil ke arah tanah. "Gue harus selalu jauhin lo."
"Hmm, masalah itu." Aku mengangguk-anggukan kepala mengerti. "Sebenernya, gue juga bukan mau ngapa-ngapain. Cuma, bingung aja, kenapa lo segitu manutnya sama Mas Angkasa? Bukannya dulu lo benci banget sama dia?"
Radit mengangguk. "Gue emang benci sama dia. Tapi itu dulu," ucapnya. "Sekarang gue tahu, gimana sikap asli Mas Angkasa yang membuat gue gak punya alasan buat benci dia lagi."
Aku menautkan alis bingung tak mengerti apa maksud ucapan Radit. Yang jadi pertanyaan, cowok itu tahu dari mana sikap asli Angkasa?
"Dan satu lagi," ujar Radit menatapku. "Gue bener-bener minta maaf sama lo, atas kelakuan gue yang dulu. Dan juga sikap temen gue, Geo yang mungkin bikin lo gak nyaman."
"Sebenernya gak gampang sih maafin kalian berdua, apalagi Geo. Dia udah keterlaluan. Cuma, Tuhan gue aja maha pemaaf, masa gue nggak?" Aku tersenyum ramah ke arah Radit.
Radit membalas senyumanku. "Btw, lo cantik Li pakai hijab." Radit terlihat terkejut seolah tersadar akan ucapannya sendiri, cowok itu pun berdiri dan tampak gelalapan. "Ngh.. gue mau tarik kata-kata gue yang dulu. Kalau Mas Angkasa bukan pecundang, bahkan lo gue sebut wanita beruntung bisa dapetin dia. Duluan, Li." Sebuah senyum kaku tercipta di bibirnya.
Aku mematung melihat kepergiaannya. Tiba-tiba saja aku tersadar jika aku belum menanyakan bagaimana ia bisa mengenal sosok asli Angkasa.
"Radit!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lapor, Komandan! [END]
General FictionBagi orang-orang, dijodohkan dengan sosok tentara yang tampan, macho, mungkin suatu keberuntungan. Tapi tidak bagi Lia, menurutnya ini sangat membosankan, kehidupannya yang ceria berubah menjadi kaku saat ia harus tinggal seatap dengan pria berwajah...