Istri mana yang akan rela saat suaminya dipaksa melakukan poligami oleh ibu mertuanya, begitupula dengan Stevani Raziva, wanita yang sudah menjalani kehidupan pernikahannya selama 2 tahun namun tak kunjung diberikan seorang anak.
"Mama rasa Ziva ta...
Happy reading guys . . . . . "Seperti benang kusut yang tak ingin diuraikan."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tampaknya mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata bukanlah hal yang luar biasa lagi baginya di satu tahun terakhir ini, rasa takutnya dulu kini berubah menjadi sakit, hampa, seakan satu-persatu alasannya untuk tinggal pergi begitu saja, dengan sebelah tangannya Raziva memijat pangkal hidung nya, merasakan pening yang mulai menyerang, itu mungkin efek dari dirinya yang tak tidur semalaman.
Kini mobilnya telah terparkir di parkiran tempat yang ia tuju, Liya sudah ada di depan pintu menunggunya dengan cemas, dengan langkah cepat Ziva mendatangi Liya, sedikit berlari.
"Ziva--" jelas sekali nada gadis itu yang gemetar saat memanggilnya.
"Liya, kenapa bisa begini?" Tanya Ziva meminta penjelasan.
"Aku juga tidak tau, malam tadi ia bergegas pergi tanpa mengatakan apapun, wajahnya terlihat sangat marah, Bahakan ayah juga tak bisa menghentikannya, aku tidak pernah melihat dia begitu marah," ucap Liya mulai terisak.
"Apa sebenarnya yang terjadi, kontrol emosi mas Bara selalu baik, jika ia sampai begitu marah, takutnya--" ucap Ziva tanpa menyelesaikan kata-katanya tak ingin menjelaskan lebih lanjut, namun Liya mengangguk, ia tau ada yang tidak beres, Bara tak pernah begini.
"Ayo kita masuk, takutnya masalah ini akan lama, atau bahkan...tidak, ini harus segera di selesaikan," ucapnya menarik tangan Liya untuk kembali memasuki tempat itu, kantor polisi.
Setelah berdebat dengan aparat, melakukan berbagai prosedur yang diperlukan, semua hampir menghabiskan waktu lebih dari 2 jam, namun keduanya belum bisa mempercayai apa yang dituduhkan pada Bara, tidak mungkin.
"Mas?" Panggil Ziva kala akhirnya diperbolehkan mengunjungi Bara sebentar.
"Mas jangan diam dong, coba ceritain ke Ziva apa yang terjadi sebenarnya, ya?" Ucapnya pelan, namun Bara hanya menatapnya dalam diam, di sampingnya Liya juga bingung, tak biasanya Bara begini.
"Hey, kamu kenapa?" Kini Liya yang bertanya, Bara kini menatapnya dengan pandangan yang sulit di artikan.
"Maaf," ucapnya pada Liya membuat sensasi yang sakit di hati gadis itu.
"Jangan minta maaf, ini pasti jebakan, kamu cukup cerita pada kami, kami akan berjuang mengeluarkan kamu," ucap Liya membuat Bara berdiri dari kursinya dan berbalik meninggalkan mereka untuk kembali ke ruang tahanan, namun tak jauh ia berhenti melangkah dan sedikit menoleh.
"Jangan, pergi yang jauh, sejauh mungkin."
Mendengar kalimat yang begitu singkat namun dalam itu membuat Liya dan Ziva tertegun, Bara menolak mengizinkan mereka untuk menyelidiki masalah ini, juga menolak untuk bercerita apa yang terjadi dengan dirinya, bahkan orang gila pun bisa melihat luka di kepala dan dahi kakaknya itu, sudah kelas jika ia di celakai, mana mungkin berbalik menjadi mencelakai orang?