Happy reading guys
.
.
.
.
.
"Seperti singa, rasa sakit itu terlalu mengerikan."Matanya terbuka, membiarkan cahaya yang begitu menyilaukan menyapa netranya, ia mengerjap, kerongkongan nya terasa begitu serak, dengan beberapa bagian tubuhnya yang terasa begitu sakit, ruangan ber cat putih.
Rumah sakit.
Tak lama, suara langkah kaki mendekat dengan cepat, ingatannya tertuju pada ruangan CCTV membuat nafasnya menderu, terasa begitu menyesakkan, tangannya mencengkram ranjang rumah sakit dengan erat, sebuah tangan menggenggam tangannya, menenangkan.
"Ziva, tenang ya," ucap sosok itu membuat Ziva menoleh, ia bisa menghembuskan nafas leganya karna orang itu adalah salah satu sahabatnya, Manda.
"Manda, Ziva takut."
"Tenang, semuanya sudah diputuskan," ucap Manda tersenyum getir membuat Ziva memiliki firasat buruk di hatinya.
"Mak--maksudnya?"
"Ziva, jangan paksa aku untuk mengatakannya ya, pulihkan dirimu, dan kamu akan tau," ucap Manda membuat Ziva memasang wajah datarnya, ia memandang Manda tajam membuat gadis itu menghilangkan senyuman dari wajahnya, digantikan ekspresi kelam yang sangat sulit untuk dicerna, secara refleks otak Ziva mencerna segala sesuatu, hingga kini satu kata yang terlintas di benaknya.
"Kakak!" Teriaknya membuat Manda menahan nafasnya.
"Sudah berapa lama aku di sini?" Tanya Ziva panik, Manda tersenyum.
"Satu bulan."
"Bagaimana bisa?"
"Bukannya kamu yang lebih tau, apa yang terjadi?" Tanya Manda membuat Ziva mengatupkan bibirnya, matanya memanas dengan tajam, tangannya mencengkram spray, tapi tak ada kata yang keluar dari bibirnya, hanya nafasnya yang menderu.
"Kenapa?" Tanyanya lagi, kali ini lebih lembut, hanya saja nadanya yang terdengar menuntut membuat Manda menghela nafas dengan sangat berat dan mendudukkan dirinya di samping Ziva, tangannya saling menggenggam, Ziva mengenal kebiasaan itu, Manda tengah tertekan.
"Kamu sudah koma selama satu bulan penuh, aku juga tidak tau apa yang terjadi padamu saat itu, tiga Minggu lalu adalah sidang terakhir dari kakakmu," ucapnya memberi jeda.
"Kakak pasti menceritakan kebenaran, ia tidak akan apa-apa," Ziva memotong perkataan itu dengan tersenyum hangat, Manda benci itu, bukan senyuman itu, hanya saja pada Ziva yang selalu membohongi dirinya sendiri.
"Siapa yang kamu bohongi?"
"Pasti begitu." Senyuman di wajahnya membuat rasa sesak di hati Manda, namun apapun itu, ada sesuatu yang harus ia ucapkan meski enggan.
"Bara mengakui tuduhan yang diberikan padanya, hukuman mati, hari ini." Hanya itu, benar-benar hanya itu yang mampu ia ucapkan, matanya kini sudah berkaca-kaca melihat air wajah dari sahabatnya itu, ekspresi dimana seakan-akan jiwanya terbang ke tempat yang jauh, dan dia, hanya bisa tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm (not) a Navillera
RomansaIstri mana yang akan rela saat suaminya dipaksa melakukan poligami oleh ibu mertuanya, begitupula dengan Stevani Raziva, wanita yang sudah menjalani kehidupan pernikahannya selama 2 tahun namun tak kunjung diberikan seorang anak. "Mama rasa Ziva ta...