perjalanan pergi

4.6K 180 36
                                        

Happy reading guys
.
.
.
.
.
"Ketika hatimu merasa sakit, air matamu akan turun."

Sedari tadi, Ziva hanya terdiam dengan raut wajah kosong, matanya terlihat sembap, ia mengatakan baik-baik saja, tapi justru semakin membuat kedua orang lain nya merasa khawatir akan kondisinya, namun memutuskan untuk tetap diam, memberikan ketena...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sedari tadi, Ziva hanya terdiam dengan raut wajah kosong, matanya terlihat sembap, ia mengatakan baik-baik saja, tapi justru semakin membuat kedua orang lain nya merasa khawatir akan kondisinya, namun memutuskan untuk tetap diam, memberikan ketenangan.

"Liya, ayah udah bahagia kan di sana?" Tanya Ziva dengan suaranya yang terdengar parau, Liya tersenyum, air matanya kembali menetes.

"Iya, Om Faro udah bahagia."

"Kakak, gimana dengan kakak?" Tanya Ziva kemudian membuat Liya kembali terisak, mengingat kembali hal yang sudah berusaha keras ia kubur di dalam hati nya yang terdalam, tapi tak urung Liya mengangguk.

"Iya Ziva, Bara juga sudah bahagian, dia pasti bahagia...dia harus bahagia," ucap Liya kini membekap mulutnya, menahan rasa sakit hatinya.

"Jangan di tahan," ucap Abian yang masih fokus menyetir, namun sesekali ia melirik ke arah kaca melihat keadaan kedua wanita di bangku penumpang.

"Aku hanya tidak ingin menjadi lemah, bukankah kematian itu suatu yang pasti, aku tak ingin menangisi sesuatu yang sudah pasti akan datang," ucap Ziva pada akhirnya, ia tersenyum menatap Abian melalui kaca.

"Kamu, bahkan kita semua gak bisa mengatur kapan akan merasa sedih atau kapan bisa merasa senang, hati itu punya rasa tersendiri," kedua gadis itu terdiam, nyatanya menahan duka tidaklah segampang yang mereka katakan, sekuat apapun iman seseorang, pasti tetap akan merasa sedih menghadapi kematian orang terkasih.

"Jangan dipaksa untuk tersenyum, bagus jika kamu memang sudah ikhlas, tapi jangan terlalu dipaksakan, gak ada yang salah dengan menangis, ketika hatimu sakit, air mata pun akan turun," ucap Abian tersenyum singkat, ia mengatakannya bukan untuk menenangkan seseorang, kata-kata itu seakan pernah dikatakan seseorang padanya, seseorang yang ia temui puluhan tahun lalu, yang memeluknya ketika sebuah kebakaran mengambil kedua orang tua nya, gadis kecil yang selalu ia harapkan untuk kembali bertemu.

"Kita akan kemana?" Tanya Ziva sendu.

"Bandara, seseorang sudah menunggu di sana," ucap Abian menjelaskan, Liya hanya mengangguk karna ia memang sudah tau rencananya.

"Ayah?"

"Jenazah tuan Faro juga akan ikut dikirimkan ke tujuan kita, tapi...mungkin kita tidak bisa membawa Manda," ucap Liya, kepalanya tertunduk dengan mata yang tertutup.

"Kenapa, Manda pasti juga muak berada di sini," ucap Ziva tak setuju, setidaknya ia harus berpamitan dulu pada sahabat baiknya itu, yang telah banyak membantunya selama beberapa bulan ini.

"Takutnya sudah tidak bisa," ucap Abian ikut memasang wajah seriusnya.

"Tunggu, tidak ada kabar buruk lagi kan?" Tanya Ziva dengan ekspresi wajah datar, matanya memancarkan binar, berharap pada Liya bahwa yang akan gadis itu katakan bukanlah hal yang buruk.

I'm (not) a NavilleraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang