Istri mana yang akan rela saat suaminya dipaksa melakukan poligami oleh ibu mertuanya, begitupula dengan Stevani Raziva, wanita yang sudah menjalani kehidupan pernikahannya selama 2 tahun namun tak kunjung diberikan seorang anak.
"Mama rasa Ziva ta...
Happy reading guys . . . . . "Perlahan, kamu akan diterkam oleh rasa sakit itu, terkoyak hingga tak tersisa,"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Liya berdiri tegak di hadapannya, hijab gadis itu yang berkibar tertiup angin kencang di tepi pantai. Kaki mereka yang mengenai air laut dengan sandal yang terjinjing, lingkungan yang ramai oleh wisatawan itu, bagaimana bisa berubah menjadi mikrokosmos.
"Hidup dengan baik katanya?" Ziva menoleh mendengar gumaman Liya dengan mata gadis itu yang menatap entah kemana.
"Yakin sekali dia," ucap Liya lagi membuat Raziva mengangguk, ia setuju.
"Kamu bahagia?" Tanya Liya, kini matanya menatap Ziva, wanita itu menggeleng.
"Ayahmu?" Tanya Liya membuat Ziva teringat akan ayahnya, benar, setelah sadar dari komanya, hal yang ia lakukan adalah memaksa Liya untuk membantunya menemui Bara, yah meskipun pada akhirnya itu percuma.
"Banyak yang terjadi ya," ucap Liya lagi, nadanya getir, ia meronggoh saku celananya dan mengeluarkan selembar amplop berwarna merah, menyerahkannya pada Ziva.
"Apa ini?" Tanya Ziva, kedua mata wanita itu masih sembab, tak ada yang baik-baik saja setelah perpisahan, terutama adalah kematian, berfikir bahwa tak akan bisa bertemu lagi dengan sosok yang berharga itu, untuk selamanya, bahkan ketika rasa rindu itu datang menghampiri, kamu hanya bisa menangis, mengenang segala sesuatu, masa-masa indah bersama sosok itu, semakin jauh, dan semakin jenuh.
"Dari Bara," lirihnya kembali menatap ke depan.
"Kakak..." Gumam Ziva menerima surat itu.
"Pulanglah, temui ayahmu," ucap Liya, Ziva mengerti, Liya hanya ingin ia meninggalkan gadis itu sendirian, untuk menenangkan dirinya, dan untuk menguatkan hatinya. Namun, mungkin itu juga baik, Ziva mungkin juga butuh waktu bersama ayahnya, menjelaskan masalah Bara, kini ia hanya memiliki ayahnya sebagai keluarga kandungnya, Ziva tak ingin membuang waktu berharga yang ia miliki bersama Faro.
Waktu telah mengajarkannya, bahwa segala sesuatu bisa datang dan pergi secepat mata berkedip.
Dan hal yang harus tetap berjalan ialah kehidupan yang terus berlanjut, menapaki jalan penuh pilihan, keputusan, dan penyesalan, semua itu bagai telah tersusun bagaikan puzzle yang tak bisa diubah susunannya, setiap harinya, setiap detiknya, akan menentukan ke arah mana kamu melangkah, dan seperti apa bentuk yang kamu ciptakan.
"Ziva, pergi dulu, setidaknya, mewakili kakak, makasih Liya sudah mau menerima kakak, memilih untuk tetap mempercayai kakak, dan tidak pergi meninggalkan kami, bahkan saat satu persatu orang menjauh, padahal bisa saja Liya pergi, kita tidak punya hubungan darah apapun, Liya tidak punya kewajiban apapun untuk menetap, Liya sudah bertahan sejauh ini, terimakasih," ucap Ziva dengan tulus, Liya mendengarnya, lidah nya kelu, ia memejamkan kedua matanya, menahan rasa sesak yang menghampirinya, Ziva tersenyum dan melangkah menjauh.