Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Adiran mengecek kembali jurnal hariannya, lalu mencoret semua daftar pekerjaan yang sudah ia selesaikan hari ini--kecuali satu--meminta konfirmasi kepada Sativa. Sejak kembali ke indekosnya pukul delapan malam tadi, Adiran langsung mencatat satu hal penting itu: menanti jawaban dari Sativa. Adiran sudah mengirim pesan singkat sejak beberapa jam yang lalu, tetapi Sativa tidak kunjung memberi tanda. Perempuan itu tidak membaca pesannya.
Nekat, Adiran menyentuh simbol telepon di ruang obrolannya bersama Sativa. Tidak beberapa lama setelahnya, di luar dugaan Adiran, Sativa mengangkat telepon.
"Tiv?" panggil Adiran.
"Iya."
"Kok diangkat?"
"Oke, gue matiin--"
"Eh, enggak." Adiran buru-buru memotong ucapan Sativa. "Gue nggak nyangka aja lo angkat telepon gue."
Hening.
"Chat gue ... kenapa nggak dibaca?"
"Gue baru cek hape," balasnya singkat.
"Oh ...."
"Lo chat apa?"
"Ya lo emangnya nggak bisa baca?"
Terdengar helaan napas kasar Sativa. Beberapa detik setelahnya, ia kembali bersuara. "Oh, lo serius soal omongan lo tadi sore?"
"Emang gue kelihatan bercanda?"
Hening lagi. Di kamarnya, Adiran berjalan mondar-mandir sambil berpikir keras. Ia berusaha sebisa mungkin untuk mengatur emosi dan nada bicaranya. Bagaimanapun, ia sedang berbicara dengan Sativa. Perempuan yang memiliki kemungkinan besar mengubah laju pembicaraan.
"Lo bakal tetap gini terus ya, Ran?"
"Iya." Adiran menjawab tanpa pikir panjang. "Sampe lo bilang iya, gue begini terus. Atau seenggaknya ... kalau lo enggak, kasih gue alasan yang logis."
"Gue nggak mau buang-buang waktu," jawab Sativa tanpa berpikir panjang.
"Kok lo langsung mikir gitu?"
"Ran, gue sama lo tuh nggak bisa jadi apa-apa." Sativa menjawab enteng. Di kamarnya, Adiran duduk sambil berpikir lagi. "Gue sama lo nggak akan bisa jadi temen, sahabat, pasangan, bahkan musuh sekalipun."
"Tiv, dicoba aja belum. Lo udah narik kesimpulan gitu."
"Lo emang harus mencoba semua hal dalam hidup dulu ya supaya lo tahu itu bakal berjalan dengan baik atau enggak?"
"Iya." Adiran menjawab tanpa berpikir panjang. "Tiv, gue bukan lo yang bisa mengandalkan intuisi. Gue harus coba dulu sebelum akhirnya gue tahu itu bakal berhasil apa enggak. Lagian, gue yang bakal buang-buang waktu kali, Tiv. Kan gue yang mau berusaha."
Adiran mendengar Sativa membuang napas. Lagi. Dan helaan napas itu ikut membuat Adiran merasa tidak karuan.
"Oke," kata Sativa, "gue sepakat."
"Hah? Segampang itu?"
"Gue udah malas mempersulit keadaan," balas Sativa, "tapi nggak sampai akhir semester ini."
"Terus sampe kapan?"
"Sampai pergelaran selesai."
"Tiv, nggak mungkin lah. Pergelaran tuh sepekan lagi. Gue bakal sibuk ngurus pergelaran. Belum lagi, lusa gue final debat ke Jakarta. Kasih gue waktu lebih lah."
"Ya itu urusan lo." Sativa memotong ucapan Adiran. "Katanya lo mau berusaha?"
Adiran hening. Beberapa jam yang lalu ia memang mengatakan bahwa ia ingin berusaha, tetapi bukan usaha seperti ini yang ada dalam benaknya. Bukannya Adiran tidak ingin berusaha, tetapi memberikan waktunya hanya agar ia bisa fokus kepada Sativa ... membuat Adiran merasa kehilangan dirinya sendiri. Itu bukan Adiran Kiluan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektiva
Ficción GeneralIni cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dosen, yang menggadaikan ungkapan agen of change sebagai alasan bolos kuliah, yang menyumpal telinganya...