Runtuh

7.3K 1.5K 190
                                    

Langit runtuh kala Tuhan menakdirkannya rubuh.
Lalu kamu menjelma Semesta yang punya kuasa.
Meski aku menginsyafi diri agar tidak mudah jatuh pada binar mata seorang hawa, di detik yang tak terduga, pada akhirnya dindingku runtuh juga.

Kuasamu menarik segala keberdayaan yang aku punya.

[ d i a l e k t i v a ]

"Tiv, Zi, maaf banget, ya, semalam jadinya kita nggak latihan bareng. Soalnya, ada kerjaan yang harus Naja urus dan harus selesai malam itu juga. Tapi habis itu, Naja ngumpulin bahan dan pelajarin peran Naja sebagai pembicara satu, kok." Naja—dengan sorot matanya yang dipenuhi rasa bersalah—meminta maaf kepada Sativa dan Mizi karena semalam tidak bisa berlatih debat. Sativa mengangguk paham. Ia tahu betul bahwa Naja benar-benar sibuk. Meskipun di kampus Naja terkesan tidak terlalu aktif, Sativa tahu bahwa di tempat lain, Naja benar-benar dibutuhkan dan mempunyai peran besar. Sativa sering melihat Naja mengerjakan banyak hal dan berkutat bersama laptopnya di sela-sela waktu kosong perkuliahan. Jelas yang dikerjakan Naja bukan tugas kuliah. Yang Sativa tahu, Naja bekerja part time di salah satu statrtup ed-tech platform online yang namanya sudah cukup besar.

Di sebelah Sativa, Mizi hanya diam. Ia terlihat tenang dan sejak tadi tidak mengomentari apapun. Responsnya sesederhana menggumam tanda paham dan mengangguk tanda setuju. Lengkap dengan jas almamater yang melekat di tubuh ketiganya, mereka duduk berjejer di kursi dalam ruang auditorium Fakultas Bahasa dan Sastra. Ruangan itu sudah dipenuhi oleh enam belas tim perwakilan dari masing-masing jurusan di Fakultas Bahasa dan Sastra dan beberapa tim pendukungnya. Di jajaran kursi paling depan, tim Adiran juga sudah duduk dan sibuk membaca materi sejak tadi.

"Semalam setelah kerjaan Naja selesai, Naja ngumpulin bahan dari mosi. Udah Naja print sekalian di-copy tiga juga buat Mizi dan Tiva." Naja mengeluarkan kumpulan kertas yang sudah diklip menjadi tiga bundel dari dalam tasnya. Masing-masing bundel itu tebalnya 65 halaman. "Ini isinya sepuluh mosi. Naja cari pro dan kontranya dari berbagai sumber: undang-undang, pendapat ahli, ebook, sama beberapa data dan fakta di lapangan. Naja udah usahain ambil dari sumber yang kredibel. Semoga ini bisa melengkapi apa yang kemarin Tiva dan Mizi bahas. Untuk bagian Naja sendiri udah Naja siapin juga, kok. Semoga Naja nggak salah pas nanti ngomong."

Sativa terdiam beberapa saat kemudian menatap Naja lekat-lekat. "Semalam kamu tidur jam berapa, Na?"

Fokus Naja yang sedang membaca ulang materi teralihkan dan balik menatap Sativa. "Emangnya kenapa, Tiv?"

"Kamu nggak tidur, ya?"

Mizi ikut menatap Naja. Tatapannya naik lebih intens pada sekitar mata Naja yang tampak sayu dan wajahnya yang sedikit lesu.

"Kamu kelihatan capek, Na." Sativa menaikkan atensinya. Ia mulai khawatir jika Naja dalam kondisi yang tidak fit. "Bukan kelihatannya, sih. Ini beneran kecapean."

"Nggak apa-apa, kok, Tiv. Maaf, ya—"

"Minta maaf buat apa sih, Na?" Sativa memotong ucapan Naja dan membuang napas pendek. "Jangan suka minta maaf kalau enggak salah. Kamu nggak punya kewajiban untuk ikut serta di debat ini. Bahkan kalau kamu sekarang nggak enak badan, tim kita dibatalin aja."

"Nggak apa-apa, kok, Tiv," tegas Naja, "Naja beneran nggak apa-apa."

Sativa membuang napas kemudian mengangguk kecil. "Kalau kamu ngerasa nggak enak badan, pokoknya kamu langsung bilang, ya, Na."

"Iya, Tiv," balas Naja, "oh iya, rules debat yang harus Naja ingat apa aja? Secaman do's and don'ts-nya? Naja udah cari-cari di YouTube, sih, tapi masih takut salah."

DialektivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang