Tragedi Pallawa [2]

4.8K 1K 247
                                        

Sambil baca ini, boleh banget dengerin musikalisasi puisi yang aku taro di mulmed. Selamat membaca.

[ d i a l e k t i v a ]

Lampu teater padam. Setelahnya, lampu sorot mengarah ke tengah panggung. Iringan musik berpadu serasi. Pada pergelaran hari ini, kelas Adiran berhasil menampilkan personil terbaik dari setiap pengisi acara. Musik yang mendukung pementasan hari ini berasal dari UKM Musik Universitas Negeri Pallawa yang sudah sering menjuarai lomba. Beberapa pemain mulai memasuki panggung dan memainkan peran dengan apik. Adiran terus berkoordinasi dengan Galih melalui walkie talkie. Semua arahan dari setiap divisi juga terpusat di sana.

"Siap ganti set empat. Lighting kuning di sisi kiri sama kanan panggung, setelah itu fokus ke tengah. Musik siap-siap." Galih memberi instruksi.

Adiran ikut memperhatikan jalannya pergelaran dengan saksama. Satu jam berjalan, pementasan berjalan lancar. Semuanya berjalan baik dan sesuai rencana. Antusiasme penonton juga cukup baik. Penampilan pemain dari rekan sekelasnya cukup menarik atensi seisi teater—tak terkecuali Bapak Gubernur.

Adiran tersenyum dan bernapas lega. Di sebelahnya, Sativa ikut mengamati jalannya pementasan. Berbeda dengan Adiran, kecemasan Sativa justru meningkat. Di tengah riuh adu suara dari tiap pemain dan iringan musik yang ada, bising intuisi dalam pikiran Sativa mengusiknya dengan sempurna. Beberakali kali Sativa mengecek ponselnya—membaca kembali pesan Bumi. Kemudian, tatapannya tidak berhenti menelusuri tiap jengkal teater. Harusnya Sativa merasa lega bahwa kehadiran Bumi tidak terlihat di sini. Sativa kembali menerka apa perjuangan yang Bumi maksud. Di mana laki-laki itu akan kembali menunjukkan taringnya?

"Tiv, lo sakit?" tanya Adiran saat menyadari Sativa sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.

Sativa menggeleng kecil.

Adiran memperhatikan Sativa. "Duduk aja, Tiv."

"Nggak apa-apa, Ran, gue mau lihat dari atas sini—sambil berdiri, sambil merhatiin semuanya," balas Sativa. Adiran mengangguk kecil. Tempat ia dan Sativa berdiri memang berada di paling belakang teater—di undakan tempat duduk paling tinggi. Divisi lain menyebar sesuai dengan tugas mereka. Di bagian belakang, hanya ada Adiran, Sativa, beberapa orang dari divisi acara, serta tim penata lampu.

"Siap-siap set tujuh. Bagian klimaks. Kasih yang terbaik buat penonton, Guys!" Galih memberi semangat melalui walkie talkie sebelum akhirnya memberi instruksi. "Pemain out. Light off."

Seperti biasa, di pergantian set, lampu sorot padam. Hal ini dilakukan untuk memberi jeda sekaligus memberi ruang pemain untuk memasuki panggung.

"Gue reminder dulu lighting setnya. Light on pertama fokus ke titik tengah panggung dulu, baru ikuti gerakan Ninda dari kiri ke kanan, terus nyalain dua lampu lagi di kanan dan kiri untuk dua set beda. Untuk musik, langsung mainin instrumen sesuai yang ada di naskah, baru masuk lagunya di tengah konflik ya. Fokus, semua aba-aba dari gue. " Galih kembali bersuara. "Oke. Satu ... dua ... tiga ... lampu on!"

Setelah aba-aba dari Galih, lampu sorot masih padam. Adiran langsung mengaktifkan walkie talkie-nya. "Kenapa masih off? Harusnya on, kan?"

"Dimas! Lampu ke arah tengah nyalain!" pekik Galih.

Adimas sebagai penanggungjawab musik masih tidak merespons. Suasana teater mulai tidak kondusif. Adiran langsung melirik tim penata lampu yang berdiri di pojok kiri teater. "Gue samper—"

Ucapan Adiran terhenti saat lampu sorot tiba-tiba menyala. Tapi kali ini, lampu itu tidak mengarah ke panggung. Sorotan itu mengarah ke lantai dua teater. Seluruh perhatian penonton terpecah—sebagian besar tentunya ke arah sorotan lampu. Dalam hitungan detik, baliho besar berlatar putih polos menjuntai ke bawah. Ada satu kalimat dengan tiga kata yang terpampang besar di sana.

DialektivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang