Hujan

3.9K 972 59
                                    

Sejak berjalan bersama Sativa, Bumi tidak bicara apa-apa. Ia hanya berkata akan menemani Sativa berjalan hingga sampai di depan indekos Netta. Lagipula, suara hujan terlalu gaduh dan Bumi yakin suaranya juga akan luruh. Sebetulnya, banyak hal yang ingin Bumi tanyakan. Sejak bertemu terakhir kali dengan Sativa sepekan yang lalu, Sativa seolah-olah menghilang. Ia tidak membalas pesan Bumi. Di kampus, perempuan itu juga jadi jarang terlihat.
Entah karena pementasan drama yang menyita aktivitas Sativa atau semua aktivitas pergerakan Bumi yang juga menyita seluruh waktu laki-laki itu. Meskipun sudah resmi dikeluarkan dari kampus, semua rekan aktivis masih memperlakukan Bumi sebagai pemimpin.

Tiba di depan gerbang indekos Netta, langkah Sativa dan Bumi berhenti. Bumi menatap wajah Sativa. Ia memperhatikan bagaimana Sativa menggenggam payung pinjaman Adiran dengan erat. Kalau saja perempuan di hadapannya bukan Sativa, Bumi tidak akan terusik. Tapi ini Sativa Airish Cantigi. Perempuan yang tidak mungkin menerima apapun dari siapapun ... jika memang hatinya menolak dan tidak ingin.

"Kak Bumi mau ngomong apa?" tanya Sativa, tanpa basa-basi, tanpa memberi kesempatan Bumi untuk memandanginya lebih lama lagi.

"Kamu terganggu?" Bumi bertanya pelan. "Kamu terganggu dengan ucapan saya pekan lalu?"

Sativa menggeleng kecil. "Justru saya lihat Kak Bumi yang terganggu sama ucapan dan perasaan Kak Bumi sendiri."

Bumi terdiam.

"Saya cuma mau Kak Bumi pikirin lagi tentang perasaan Kak Bumi sendiri." Sativa kembali bersuara. Kali ini, nada suaranya terdengar lebih pelan--makin menentramkan. Sativa mewujud seorang Ibu yang memberikan petuah perihal jatuh cinta kepada anaknya. "Apa alasan Kak Bumi jatuh ke saya? Jatuh yang seperti apa? Apakah jatuh yang bikin Kak Bumi merasa hidup Kak Bumi berwarna atau sekadar menghapus hitam di hidup Kak Bumi aja?"

Sativa berhenti sejenak. Ia ikut menatap Bumi lekat-lekat. "Kak Bumi boleh bergantung sama saya, tapi satu tangan aja. Kak Bumi boleh pinjam sayap saya, tapi satu aja. Kak Bumi boleh sayang sama saya ... tapi jangan terlalu besar. Sewajarnya aja."

Sativa terdiam lagi. Ada hening yang cukup lama hingga Bumi akhirnya berani mengeluarkan suara. "Perasaan kamu sendiri gimana, Tiv?" tanya Bumi, "gimana kamu melihat hubungan di antara kamu dan saya selama ini?"

Sativa menggumam sebentar. "Saya dan Kak Bumi hanya sebatas bergantung, tapi nggak pernah berkait sedikitpun. Apa saya punya perasaan sama Kak Bumi? Saya pikir ada, tapi bukan perasaan orang jatuh cinta pada umumnya. Saya bersimpati, khawatir, takut, cemas, dan sesekali iba sama semua luka yang Kak Bumi rasakan. Tapi ... hanya sebatas itu aja."

"Tapi setidaknya kamu nggak merasa hampa kan, Tiv?"

Sativa mengangguk.

"Buat saya itu udah cukup," balas Bumi, "Itu sudah lebih dari cukup untuk mewujudkan kita."

Sativa menggeleng kecil. "Hubungan antara dua orang yang jatuh cinta itu harus pancarona, banyak warnanya. Hubungan itu bukan soal mengubah gelap jadi terang aja, Kak, tapi juga soal mengubah merah muda jadi merah muda yang punya banyak varian warna. Kalau kata Netta, hubungan itu bukan soal feeling blue aja, tapi juga soal feeling purple, feeling pink, feeling green. Tentang semua warna. Ini semua soal gimana dua orang saling berbagi keresahan dan kebahagiaan."

Bumi terdiam lagi. Mencerna semua ucapan Sativa dan merefleksikan kembali pada apa yang sudah terjalin di antara mereka sejauh ini. Jika Bumi ingat-ingat, selama mereka mengenal satu sama lain, sampai detik ini ... Bumi memang belum pernah memberikan warna apa-apa kepada Sativa selain hitam, abu-abu, dan biru: sisi kelam, ketaksaan, juga kerapuhan.

"Saya nggak bilang bahwa Kak Bumi nggak bisa bikin bahagia atau Kak Bumi nggak bisa bahagia karena saya. Permasalahannya adalah ... kita berdua memang nggak bisa membagi hal itu."

DialektivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang