Adiran memperhatikan Sativa. Setelan perempuan itu hampir sama seperti biasanya. Sativa mengenakan jeans longgar, kemeja flannel kotak-kotaknya yang berwarna hijau army, serta Converse berwarna hitam. Tidak lupa, di pundaknya tersampir tas hitam yang biasa ia pakai ke kampus. Satu-satunya perbedaan penampilan Sativa hari ini adalah rambutnya. Hari ini, untuk pertama kalinya, Adiran melihat rambut Sativa tergerai. Rambutnya menjulur melebihi bahu--tidak terlalu pendek atau panjang.
Ketika tatapannya sedang intens mengarah ke Sativa, Adiran mengejap saat Sativa tiba-tiba menoleh dan menatapnya. "Lo ngeliatin apa?"
Adiran menggeleng sambil mengatur napas. Ia melayangkan pandangannya kembali ke jalanan. Sudah hampir 15 menit ia dan Sativa berdiri di pinggir jalan--menunggu datangnya bus kota yang akan mereka naiki, yaitu Damri. "Berapa lama lagi sih, Tiv?" keluh Adiran.
Sativa melirik jam tangannya. "Bentar lagi."
"Dari tadi lo ngomongnya bentar lagi terus." Adiran mendumal kesal. "Kata gue juga apa, Tiv, naik mobil aja. Kalau naik mobil gue, dari tadi kita udah sampe."
Sativa kembali melirik Adiran. Keningnya mengernyit. "Gue nggak pernah minta lo ikutan naik damri juga ya. Kan gue bilang jalan masing-masing aja. Nanti langsung ketemuan di RuTe. Gue juga nggak tahu kalau tiba-tiba lo udah ada di sini."
Skak mat. Adiran menutup mulut. Hari ini, mereka akan mengunjungu RuTe--Ruang Temu--salah satu coworking di Kota Bandung yang biasanya dikunjungi mahasiswa atau pebisnis untuk mengerjakan tugas, rapat, atau bekerja. Ide ini muncul dari Sativa saat mereka berdua berdebat akan mengerjakan tugas menyusun proposal PKM di mana. Sativa mengatakan indekosnya melarang tamu pria masuk. Adiran juga tidak ingin mengerjakan tugas di rumahnya--ia khawatir ayahnya tiba-tiba datang dan Sativa jadi mengetahui lebih dalam mengenai kehidupannya. Beberapa ajuan tempat seperti kampus, kafe, dan tempat lainnya Adiran tolak. Ia memang tidak fokus di tempat-tempat yang berisik dan terdapat banyak orang. Maka Sativa mengusulkan RuTe, coworking yang biasanya ia kunjungi juga untuk sekadar mengerjakan tugas atau membaca buku. Coworking ini juga terhubung dengan perpustakaan yang memiliki koleksi buku cukup lengkap. Harga sewa per jamnya juga cukup terjangkau.
"Kenapa lo jadi naik damri juga?" tanya Sativa.
Adiran terdiam beberapa saat. Sejujurnya, ia juga tidak tahu. Atau lebih tepatnya, ia tidak ingin Sativa tahu bahwa Adiran--
"Alasannya bukan karena mau berangkat bareng gue, kan?"
Mata Adiran membelak. "Apaan sih, Tiv. Pede banget lo."
"Ran, gue nanya. Bukan kepedean."
Adiran berdecak ringan. "Gue pengen tahu aja rasanya naik damri."
"Lo belum pernah naik damri?"
Adiran terdiam lagi. Dari dulu, ia tidak pernah suka naik transportasi umum--kecuali kereta api atau pesawat. Itu pun kelas bisnis. Menaiki transportasi umum seperti ini banyak membuat Adiran mendumal dan merasa terganggu. Lagipula, sejak remaja, ia sudah diajarkan mengendarai mobil dan selalu melakukan perjalanan dengan mobilnya.
"Ya makanya ini gue mau nyoba naik."
Sativa mengangguk. "Siap-siap aja, ya. Hari Minggu tuh biasanya padat. Jangan kebanyakan ngomel."
Tepat setelah Sativa selesai mengujarkan kalimat itu, bus damri berwarna biru yang sejak lima belas menit mereka tunggu datang. Sativa melambaikan tangan agar bus berhenti. Adiran melihat Sativa masuk dan segera menyusul di belakangnya. Mata Adiran mengerjap beberapa kali saat ia memperhatikan bus damri yang cukup padat. Hanya tersisa satu kursi kosong. Sativa memberikan isyarat kepada Adiran untuk menduduki kursi tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektiva
General FictionIni cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dosen, yang menggadaikan ungkapan agen of change sebagai alasan bolos kuliah, yang menyumpal telinganya...