Sejak bertemu Sativa di Taman Widipa pukul enam pagi, Mizi tidak mengeluarkan sepatah kata. Sativa juga hanya bicara seperlunya. Sativa menghampiri teman-temannya untuk bertanya menu sarapan yang mereka pesan. Setelah itu, ia menghampiri Mizi dan langsung mengajak Mizi membeli sarapan tanpa berbasa-basi.
Di tengah-tengah memperhatikan penjual nasi kuning membungkus nasi, Sativa menoleh ke arah Mizi. "Kenapa, Zi?"
Mizi yang sedang duduk di jok motornya mengerjapkan matanya. Ia tidak menyangka Sativa akan mengajaknya berbicara. Sambil memperbaiki posisi duduknya, Mizi menatap Sativa. "Kenapa apanya?"
"Dari tadi lo ngelihatin gue," balas Sativa, "apa gue aja yang kepedean?"
Mizi diam sejenak. Sejak obrolannya dengan Sativa kemarin sore, Mizi lebih berhati-hati untuk berbicara dengan Sativa. Sebetulnya, sejauh ini Mizi hanya menganggap Sativa seorang teman--tidak lebih dari itu. Mizi hanya suka mengobrol dan berdiskusi banyak hal kepada Sativa. Ia merasa satu frekuensi. Akan tetapi, Mizi juga sadar bahwa ketika obrolannya bersama Sativa terasa semakin nyaman, perasaannya akan berubah secara perlahan.
Sativa masih memandang Mizi. Matanya menatap Mizi lekat-lekat. Di detik selanjutnya, Sativa kembali membuka suara. "Kenapa lo diam aja, Zi?"
Mizi membuang napas. "Karena gue sedang berhenti mem-follow up."
"Dengan cara diam?" tanya Sativa. Perempuan itu masih memperhatikan Mizi. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. "Ada beberapa kondisi di mana gue dan lo harus ngomong, Zi. Kita satu kelas. Gue sama lo bareng di beberapa kelompok. Di pergelaran ini juga kita sama-sama di konsumsi. Cuma kita berdua juga yang di konsumsi. Mau nggak mau, kita berdua emang harus ngobrol."
"Terus kita harus gimana?" tanya Mizi.
"Kita?"
"Maksudnya gue," ujar Mizi mengoreksi ucapannya sendiri, "gue harus gimana kalau mau ngobrol sama lo?"
"Ya kayak biasa aja," jawab Sativa santai, "sebelumnya, lo paham berhenti ngobrol yang gue maksud kemarin, kan?"
Mizi mengangguk. "Berhenti buat ngobrol yang bikin lo jadi tong sampah ya, Tiv?"
Sativa mengangguk. Setelah itu, ia mengambil dua keresek besar berisi sarapan yang dipesan teman-temannya dan berjalan ke arah Mizi. Dua kantong besar itu langsung Mizi letakkan di bagian depan motor.
Sebelum naik, Sativa menatap Mizi sekali lagi. "Sori kalau ucapan gue kemarin mungkin bikin lo nggak nyaman."
"It's okay. Justru karena lo ngomong gitu, gue jadi mikir."
"Mikir apa?"
"Mikirin perasaan gue sendiri," balas Mizi. Mendengar jawaban itu, mata Sativa menyipit kecil. "Sori, Tiv."
Sativa menggeleng kecil, lalu duduk di atas jok motor. Mizi langsung menyalakan mesin motor dan melajukannya ke arah kampus. "Jadi, gue masih bisa ngobrol sama lo kan, Tiv?"
"Iya, asal--"
"Nggak ngomongin hal-hal yang sifatnya personal," potong Mizi, "ada lagi yang nggak gue bisa obrolin sama lo?"
"Nggak ada. Asal lo ngobrolin hal-hal di luar kehidupan pribadi lo, gue oke oke aja."
Mizi menggumam. "Jadi harus ngobrolin hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak ya, Tiv?"
Sativa menggumam. Dari kaca spion, Mizi bisa melihat Sativa menatapnya sambil menyipitkan mata. "Ya nggak gitu juga, sih, tapi ... iya aja deh, biar obrolannya berbobot."
Mizi mengangguk kecil. "Menurut lo, obligasi global yang dikeluarin sama pemerintah dengan tenor 50 tahun gimana, Tiv?" tanya Mizi sambil melirik kaca spion. "Apa benar-benar bisa memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan laju investasi? Atau justru sebaliknya? Bakal jadi beban untuk pemerintahan selanjutnya dan ujung-ujungnya dan berpengaruh ke kenaikan pajak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektiva
Ficción GeneralIni cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dosen, yang menggadaikan ungkapan agen of change sebagai alasan bolos kuliah, yang menyumpal telinganya...