Sejak pagi, Gedung Teater Prama Gautama--gedung teater di Universitas Negeri Pallawa sudah dipadati Adiran dan rekan sekelasnya untuk melakukan gladi bersih pergelaran. Kelas Adiran mendapatkan jadwal tampil di hari pertama, yaitu besok pukul 16.00-18.00. Semua divisi sudah sibuk mengerjakan tugasnya masing-masing. Meskipun beberapa waktu terakhir banyak pekerjaan tertunda, di sehari sebelum pementasan drama ini ternyata semua sudah selesai. Persiapan tim produksi berjalan lancar. Begitu pula tim pementasan. Hari ini, untuk memastikan semuanya akan berjalan baik dan sesuai rencana, Pak Rino akan ikut hadir melihat gladi bersih.
Sejak pagi, Adiran tidak pernah diam. Laki-laki itu selalu bergerak, memastikan semua tim menyelesaikan tugasnya dan tidak ada kekurangan apapun. Pukul dua belas siang, akhirnya Adiran bisa duduk dan merasa sedikit tenang. Adiran duduk di kursi penonton, lantas memperhatikan panggung yang sudah didekorasi dengan berbagai properti untuk esok. Kemudian, Sativa datang membawa satu box makan dan meletakkan di samping Adiran.
Adiran menoleh. "Makasih."
Sativa hanya mengangguk. Sebelum Sativa pergi, Adiran berkata, "Makan bareng sama gue, Tiv."
"Kenapa gue harus mau?"
Adiran menoleh, menatap Sativa lekat-lekat. "Kooperatif lah, Tiv. Ini hari terakhir gue deketin lo," ujar Adiran, "besok, pas pergelarannya selesai, gue juga bakal buat keputusan akan gimana ke lo."
Sativa menggumam. "Emangnya lo udah selesai analisis perasaan lo sendiri?"
Adiran terdiam. Kalau boleh jujur, ini bukan sesuatu yang bisa Adiran analisis dengan mudah. Perihal perasaan, Adiran adalah pemula. Ia sudah membaca buku dan artikel tentang "jatuh cinta". Sudah ia kaji beberapa kali, semua tulisan itu hanya membentuk rentetan teori. Perasaannya kepada Sativa ... belum selesai ia pecahkan. Adiran tidak tahu jenis perasaan apa yang ia miliki kepada Sativa. Yang ia tahu, ia suka bersama Sativa--terlepas dari ucapan dan sikap perempuan itu yang seringkali menyebalkan dan membuat Adiran "tertampar".
"Kan gue udah bilang sebelumnya, Tiv, lo terlalu kompleks sampai gue nggak bisa analisis lo dengan teori pendekatan manapun."
Sativa hanya mengangguk kecil, lalu duduk di sebelah Adiran. Ia ikut membuka box makan siang dan memperhatiakan orang-orang yang ada di ruang teater.
"Kayanya, emang ada beberapa hal yang nggak bisa analisis dan nggak perlu alasan logis," tutur Adiran, "perasaan gue ke lo, contohnya."
Sativa hanya mendengarkan dengan santai sambil memakan makan siangnya. Sesekali, ia juga mengecek ponsel dan memperhatikan lalu lalang orang-orang di dalam ruang teater.
Adiran melirik Sativa yang sejak tadi tidak merespons apa-apa. "Lo selalu biasa aja, ya, Tiv, kalau ada cowok yang ngedeketin lo?"
Sativa menoleh. "Gue harus bereaksi gimana?"
Adiran membuang napas. "Lo straight, kan?"
"Lo pikir gue nggak suka sama cowok?"
"Ya kali aja," balas Adiran, "menurut lo, arti yang semalem itu apa, Tiv?"
Sativa menoleh lagi. "Semalem? Emang semalem kenapa?"
Adiran berdecak lagi. Ia menyuapkan nasi ke mulutnya, lalu meminum air beberapa teguk. Setelahnya, ingatan Adiran kembali pada apa yang terjadi semalam. Adiran tidak menyangka bahwa Sativa setuju untuk naik kereta bersamanya. Mereka pergi ke Stasiun Bandung dan melakukan perjalanan ke Padalarang menggunakan kereta api lokal, lalu kembali lagi ke Bandung. Mereka hanya menaiki kereta api, mengobrol, duduk di kursi stasiun, makan pop mie bersama, lalu kembali lagi ke Bandung.
Sepanjang perjalanan, Sativa justru tidak banyak bicara. Saat Adiran bertanya, perempuan itu hanya menjawab, "Ya ini kan hal yang lo suka. Gue nggak mau mendominasi."

KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektiva
Ficción GeneralIni cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dosen, yang menggadaikan ungkapan agen of change sebagai alasan bolos kuliah, yang menyumpal telinganya...