Aku takluk: di Kaspia jiwamu yang tegar
layarku berkibar;
di Atlantis matamu yang lindap
kapalku menetap;
dalam damai dirimu aku hanyut--ke Firdaus hatimulah aku terpaut.Aku tak akan lagi menuntut.
[ d i a l e k t i v a ]
Efek dari perdebatan Adiran dan Sativa kemarin cukup mempengaruhi kehidupan Sativa secara signifikan. Beberapa teman sekelasnya mulai mendekati Sativa, mengajaknya mengobrol satu dua hal, mulai dari masalah sepele seperti di mana Sativa bisa membeli kemeja flanelnya, sampai masalah serius tentang politik dan hukum. Obrolan-obrolan itu Sativa jawab dengan baik sesuai dengan apa yang diketahuinya. Sejujurnya, Sativa sangat suka berdiskusi. Aktivitas bertukar gagasan, membangun kerangka berpikir, atau membicarakan masalah-masalah krusial yang terjadi di sekelilingnya merupakan hal yang menyenangkan bagi Sativa. Ia bisa mengutarakan pendapatnya dari referensi buku yang ia baca, dari tokoh-tokoh yang ia kagumi, dan dari bidang-bidang yang ia sukai.
Namun, ada banyak sekali alasan yang membuat Sativa enggan menunjukkan kemampuan berbicaranya. Bagi Sativa, membawa topik untuk didiskusikan dalam kelas itu terlalu sia-sia. Lawan bicaranya pasti hanya ingin dianggap pandai dan memiliki kemampuan berbicara yang mumpuni. Sativa bisa menilai itu semua dari bagaimana beberapa teman sekelasnya selalu mengangkat tangan saat sesi diskusi dimulai. Mereka akan memulai dengan mengutip ucapan seorang ahli yang disontek dari internet-dan beberapa kali Sativa mendumal kesal karena temannya itu salah menyebutkan nama atau judul buku. Kemudian mereka akan melanjutkan dengan kalimat-kalimat yang memuat istilah asing-yang beberapa kali Sativa komentari di dalam hati karena kurang tepat baik dari segi pengucapan ataupun maknanya. Dan setelahnya, pernyataan satu pihak akan ditanggapi dengan pihak yang lain dengan pola yang sama. Persis seperti lingkaran setan yang tidak pernah berhenti.
"Gue bukan menggeneralisasi, tapi rata-rata anak-anak di kelas kita cuma mencari eksistensi ketika berdiskusi. Budak nilai banget," ujar Sativa saat Netta-salah satu teman sekelas Sativa yang selalu mencoba berteman dengan perempuan itu sejak semester satu-bertanya alasan Sativa memilih bungkam selama tiga semester terakhir.
"Terus kenapa kemarin lo berani speak up? Sama Adiran lagi! Gila lo, ya?" Netta bertanya kembali saat Sativa hendak berdiri dari kursi kantin karena telah menyelesaikan makan siangnya.
Sativa mengernyit sebentar, kemudian melirik jam tangannya. Ia masih memiliki setengah jam sebelum melakukan aktivitas yang sudah ia jadwalkan hari ini. Perempuan itu meletakkan kembali tasnya kemudian memesan es teh manis ke salah satu penjual di kantin.
"Pertama, gue nggak pernah takut untuk speak up di kelas. Gue cuma malas berdiskusi sama anak-anak kelas. Kebanyakan mahasiswa zaman sekarang itu berdiskusi bukan buat mencari solusi, tapi buat menunjukkan kalau dia yang paling berintelektual tinggi. Sori, gue nggak mau tukar pikiran buat diskusi kacangan kayak gitu." Sativa berkata dengan santai, tetapi disertai dengan nada ketegasan. "Kedua, kenapa gue harus merasa takut balas argumen Adiran? Yang kemarin itu nggak direncanakan. Terjadi begitu aja. Gue cuma nggak tahan dengar Adiran menyalahkan satu pihak dan terus-terusan memaparkan fakta yang nggak sesuai dengan realitasnya. Survey ini, survey itu. Grafik ini, grafik itu. Pasal ini, pasal itu. Dia pikir semua masalah selesai dengan memaparkan data dan pasal-pasal? Bodohnya, anak-anak kelas juga suka ter-influence dengan argumennya Adiran. Padahal, dia itu cuma melihat satu hal dari kulitnya aja dan nggak sampai ke lapisan terdalamnya. Kalau perhatian lo bukan cuma fokus sama tampang Adiran, lo bisa mengoreksi banyak hal dari yang dia katakan. Data survey yang dia omongin itu sudah lawas banget, lima tahun yang lalu. Belum lagi kalau dia ngutip pendapat ahli. Gue yakin seratus persen itu bukan dari bukunya langsung, tapi dari blog internet yang sudah diterjemahkan. Mahasiswa berprestasi apaan kayak gitu? Belum lagi waktu dia menyudutkan Bumi. Gue benar-benar nggak suka aja. Kelihatan banget kalau dia nggak punya kedewasaan dalam berpikir. Egonya tinggi banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektiva
General FictionIni cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dosen, yang menggadaikan ungkapan agen of change sebagai alasan bolos kuliah, yang menyumpal telinganya...