Kabar Bumi: Menemui Pelik

3.1K 687 92
                                    

"Ha--halo, Kak Bumi, kan?"

Gerak tangan Bumi yang tengah menulis sebait puisi terhenti. Wajahnya mendongak. Di hadapannya, seorang mahasiswa usia 21 tahun dengan napas tersengal dipenuhi tetesan keringat di pelipis menatapnya intens. Perempuan di hadapan Bumi masih berdiri. Bumi juga masih duduk di kursi kafenya.

"Ah, bener, kan Kak Bumi! Saya udah ngikutin Kak Bumi dari tadi di toko buku!" Perempuan itu berseru antusias. "Oh, iya, maaf, Kak, kalau mengganggu waktunya. Perkenalkan, saya Niscaya Amerta. Saya mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Pallawa semester delapan. Saat ini, saya sedang mengontrak skripsi dan--"

"Ada kepentingan apa?" Bumi menyela.

Nis, panggilan akrab perempuan itu, sempat mengerjap sejenak. Ia menggumam pelan. "Kepentingannya nggak bisa saya jelasin dalam satu kalimat, Kak. Boleh saya duduk dulu?"

Belum sempat Bumi mengizinkan, Nis sudah duduk di hadapan Bumi. Nis meletakkan buku antologi puisi "Ranting Cantigi di Balik Jeruji Besi" yang ditulis Bumi. Setelah itu, Nis membuka tasnya dan mengeluarkan sebundel kertas yang sudah di-print. Halaman awal bundel kertas itu menampilkan judul skripsi, logo Universitas Negeri Pallawa, dan identitas akademik Nis.

"Oh iya, boleh saya selesaikan perkenalan saya dulu, Kak?" tanya Nis.

Bumi membuang napas. "Untuk apa?" tanya Bumi. Setelah itu, Bumi berdiri dan bersiap-siap untuk meninggalkan kafe. Nis duduk sambil menggerutu dan setengah frustrasi.

Saat Bumi berjalan beberapa langkah, ia mendengar suara suatu benda yang menghantam meja. Bunyinya cukup keras. Bumi menoleh ke belakang. Ternyata, itu bukan benda, tetapi kening Nis yang menubruk tepat di meja kafe. Setelah itu, Nis mengangkat kepalanya pelan-pelan. Wajahnya terlihat kesakitan. Kemudian, Nis menoleh ke arah Bumi, menatapnya frustrasi. "Maaf, Kak ...," ujarnya pelan, "saya stres banget karena skripsi saya nggak kelar-kelar."

Bumi membuang napas, lalu kembali duduk. Seketika, ekspresi Nis berubah drastis. Perempuan itu antusias dan matanya berbinar.

"Oke, saya janji nggak akan lama. Saya kenalan dulu, ya, Kak. Saya Niscaya Amerta. Saya--"

"Tadi kamu sudah berkenalan. Langsung aja ke intinya."

"Oh iya. Oke oke." Nis merapikan tatanan rambutnya, lalu mendekatkan berkas skripsi ke hadapan Bumi. "Saya langsung ke intinya aja, ya, Kak? Oke, sebelumnya, ini suatu kehormatan banget karena saya bisa ketemu Kak Bumi. Saya--"

"Sepertinya itu bukan inti pembicaraan kamu, ya?"

Nis membuang napas, setengah kesal. "Oke ... Intinya, saya butuh Kak Bumi sebagai narasumber untuk skripsi saya."

Bumi terdiam beberapa saat. Matanya menatap berkas proposal skripsi di hadapannya. Ia membaca sekilas judul rencana penelitian tersebut dan kembali melirik Nis. Setelah beberapa saat, Bumi akhirnya melontarkan pertanyaan. "Kenapa?"

"Karena skripsi saya membahas antologi puisi Ranting Cantigi di Balik Jeruji Besi ciptaan Kak Bumi. Saya pakai kajian strukturalisme genetik, sosiologi sastra, dan stilistika."

Bumi mengembuskan napas pelan. "Ya, saya tahu, tapi kenapa pakai puisi saya?"

Nis terdiam sejenak, menatap Bumi, lalu membuang napas. "Karena kumpulan puisi Kak Bumi yang ini mengandung kritik sosial sekaligus memberikan warna baru di dunia kesastraan. Puisi ini dialihwahanakan jadi cerpen, kan? Bahkan, saya dengar mau dibuat dramanya juga. Itu menunjukkan bahwa Kak Bumi merupakan salah satu sastrawan muda yang karyanya layak diakui dan dikaji--"

"Jawaban template, ya?" Bumi memotong ucapan Nis. "Saya sudah sering baca alasan itu di skripsi orang lain. Nggak ada jawaban yang lebih jujur?"

Nis membuang napas lagi sebelum menjawab, "Sebetulnya ... karena judul saya yang sebelumnya ditolak dosen pembimbing, Kak. Saya diarahkan untuk mengkaji puisi dari sastrawan yang masih muda. Akhirnya, setelah bingung nyari siapa yang tepat, saya ketemu antologi puisi Kak Bumi yang ini."

DialektivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang