Dan damaiku ada bersama pejaman matamu.
[ d i a l e k t i v a ]
Adiran tidak bisa tidur semalaman.
Tadi malam, selepas pulang dari pementasan drama, Adiran tidak menyangka bahwa momen kecil itu berhasil membuat Sativa selangkah lebih dalam memasuki domainnya. Tepat pukul sepuluh lewat lima belas menit, ketika lampu di dalam teater mulai menyala satu per satu, gemericik air hujan mulai terdengar kencang.
Mizi sudah keluar teater sejak setengah jam sebelumnya. Ia berkata kucing peliharannya sudah ditinggal terlalu lama dan belum diberi makan. Adiran berdiri. Di sampingnya, Sativa ikut berdiri dan melirik Bumi.
"Gimana, Kak?" tanya Sativa, "dapat apa dari pementasan drama ini?"
Bumi terdiam cukup lama, lalu menjawab dengan ekspresi datar disertai sudut bibirnya yang naik sedikit. "Dapat bahagia."
Kening Sativa mengernyit, tapi di detik selanjutnya perempuan itu hanya membuang napas pendek. Adiran yang melihat respons Sativa tertawa kecil. Ia dapat memvalidasi hipotesisnya bahwa Sativa bukan perempuan yang dapat diluluhkan dengan sepotong kata dan sebaris kalimat manis. Sebagai laki-laki, Adiran tahu bahwa ucapan Bumi beberapa detik yang lalu jelas memiliki intensi yang besar agar hati Sativa sedikit bergetar. Tapi, perempuan itu hanya bergeming dan mengalihkan pandangan dari Bumi lalu menatapnya.
"Kalau lo, dapat apa?"
Adiran bergumam. Berpikir apa saja yang ia dapatkan selama dua jam terakhir duduk dalam teater ini. Jujur saja, Adiran tidak memperhatikan setiap detail pementasan. Pikirannya berputar pada ucapan Sativa yang mengatakan bahwa ia perlu istirahat. Juga ucapan Bumi bahwa ia akan menjadi rivalnya. Mengingat kembali ucapan Bumi, Adiran tertawa kecil.
"Kenapa lo malah ketawa?" tanya Sativa.
Adiran menggeleng. "Nggak dapat apa-apa. Pementasannya ngebosenin. Tim produksinya nggak well prepared. Gue bisa melihat dengan jelas semua ke-chaos-an di pementasan ini mulai dari ticketing sampai lighting di akhir. Gue yakin, sih, pasti tim produksinya--"
"Oke, oke, udah," potong Sativa, "gue mau dengar experience yang lo dapat, Ran, bukan menghakimi tim produksi atau pementasannya."
"Ya itu experience yang gue dapat."
Sativa membuang napas pendek dan segera berjalan keluar teater. Di sampingnya, Bumi menatap dengan tatapan setajam elang dan berlalu tanpa berbicara apapun.
Mereka bertiga langsung keluar ruangan dan menatap deras hujan yang kembali membasuh tanah. Adiran melirik ke samping. Tangan Sativa erat memasuki saku jaket milik Bumi yang dikenakannya.
"Hujannya deras," ujar Bumi pelan, lalu melihat Sativa, "saya nggak punya jas hujan."
Sativa terdiam. "Nggak apa-apa, Kak. Paling basah dikit aja."
Bumi menghela napas pendek. "Saya nggak apa-apa juga sebetulnya," balasnya, "tapi saya apa-apa kalau kamu kehujanan."
Adiran melihat ujung mata Sativa menyipit. Jelas ia menyadari perempuan itu hanya menyikapi bentuk perhatian Bumi sebatas angin lalu. Selanjutnya, Sativa hanya menjawab, "Kalau gitu tunggu reda aja."
"Hujan begini awet. Nanti kemalaman, Tiv." Bumi sekali lagi menatap rintik hujan lekat-lekat, lalu setelahnya menggeleng kecil. "Kamu perempuan. Jangan pulang kemalaman."
Sativa menaikkan sebelah alisnya. "Kalau saya laki-laki, baru boleh pulang malam?"
"Nggak begitu, Tiv," balas Bumi.
"Terus?" tanya Sativa lagi. "Streotipnya emang gitu, ya? Kalau perempuan pulang malam, artinya perempuan itu "nakal" atau nggak bisa jaga diri?"
Adiran hanya menatap dua orang itu saling berbicara dan beradu pendapat. Pelan-pelan, Adiran tersenyum kecil. Sativa memang begitu. Perempuan itu selalu berhasil membuat topik sederhana dan remeh-temeh menjadi rumit dan penuh perdebatan.
Bukannya menjawab, Bumi justru tersenyum. "Kamu mikir saya lagi menerapkan patriarki, Tiv?"
Bumi maju satu langkah dan menurunkan gulungan kemeja miliknya sampai menutupi seluruh tangan Sativa. "Iya. Stereotipnya memang begitu. Dan karena saya bukan siapa-siapanya kamu, saya cuma bisa pakai stereotip itu untuk menunjukkan sama kamu, kalau saya benar-benar peduli sama kamu."
Sativa masih bergeming. Adiran yang mendengarkan itu juga hanya diam. Tapi satu hal yang ia sadari, Bumi menunjukkan perasaannya secara tulus dan terang-terangan.
"Kamu mau tahu kalau hubungan kita lebih dari ini, saya akan bilang apa?"
Sativa menggeleng. "Enggak mau tahu. Jangan dilanjutin."
Adiran tertawa kecil. Bersamaan dengan itu, notifikasi ponselnya menyala dan lampu mobil sedan yang memasuki area Dago Tea House berkedip. "Gue mau balik nih, Tiv, naik go car. Lo mau ikut gue apa ngobrolin patriarki dan PDKT sama Kak Bumi di sini?"
Sativa berdecak ringan dan menatap Bumi sekali lagi. Ia melepaskan jaket Bumi dan menyerahkannya. "Saya balik duluan, Kak."
"Ayo," ajak Sativa kepada Adiran.
Adiran mengangguk. Mobil yang dipesan Adiran tidak bisa masuk ke depan teater. Mereka harus berjalan sejauh lima belas meter di tengah hujan yang cukup deras. Adiran menatap sekeliling.
"Ayo, Ran. Nunggu apaan lagi?"
"Bentar." Adiran berjalan ke arah laki-laki yang tengah memegang payung dan kembali ke hadapan Sativa. Laki-laki itu merupakan salah satu penonton dan Adiran meminta tolong untuk memberinya tumpangan payung sampai ke tempat mobil diparkir.
"Nggak usah, Ran."
Adiran berdecak ringan. "Gue juga bodo amat kalau lo basah. Tapi lo nggak kasihan apa sama sopirnya? Jok mobilnya bisa basah dan lembab gara-gara--"
"Oke, oke," potong Sativa dan segera ikut masuk ke payung yang masih dipegang pemiliknya.
"Lo di pinggir," ujar Adiran. Sativa mengernyit. "Biar gue yang di tengah dan nggak basah banyak."
Sativa mendengus. Ia hanya menuruti perkataan Adiran dan pamit sekali lagi kepada Bumi. Sesampainya di dalam mobil, Adiran duduk di kursi depan, sedangkan Sativa di kursi tengah. Selama tiga puluh menit perjalanan, mereka tidak berbicara apa-apa. Beberapa kali Adiran melirik ke belakang, Sativa tampak kelelahan dan terihat mengantuk.
Mobil berhenti tepat di parkiran kampus, tempat mobil Adiran diparkir. Adiran membayar ongkos dan melirik ke belakang. Sativa tertidur
"Tiv," panggil Adiran.
Sativa masih terpejam.
Adiran keluar dari mobil dan membuka pintu tengah. Ia meminta maaf kepada sopir karena harus menunggu Sativa bangun. Sekali lagi, Adiran memanggil Sativa sekali lagi dan duduk di samping perempuan itu. "Tiva."
Sativa masih terpejam.
Selanjutnya Adiran memberanikan diri menepuk pundak Sativa. Dan disaat yang bersamaan, Sativa bergerak dan kepala perempuan itu jatuh di pundaknya. Adiran membuang napas. Tangan yang beberapa detik lalu ia gunakan untuk menepuk bahu Sativa terjatuh begitu saja. Pelan-pelan, Adiran melihat wajah Sativa yang terlihat tenang dan damai saat memejamkan mata seperti ini.
Sopir di depan berdeham dan tertawa kecil. "Biasanya kalau di film-film, kalau pacarnya ketiduran gitu digendong, Mas."
Untuk beberapa detik, Adiran ikut terpejam.
catatcand:
SETELAH SEKIAN PURNAMA AKHIRNYA UPDATE JUGA. :')
aku udah mulai kuliah, kerjaan lagi banyak juga, dan beberapa hal harus diurus. chapter ini nggak panjang, i know. tapi ... ya udah lah mau gimana lagi. dengan aku update ini, aku mau ngasih tanda-tanda kehidupan cerita Dialektiva. akan terus aku tulis, kok, intensitasnya aja nih yang belum konsisten. doain aja ya!
oyaaa gimana sampai sejauh ini kamu #TimBumi, #Tim Adiran, atau #TimMizi?

KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektiva
General FictionIni cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dosen, yang menggadaikan ungkapan agen of change sebagai alasan bolos kuliah, yang menyumpal telinganya...