Adiran memperhatikan Sativa. Sejak lima belas menit yang lalu, Sativa hanya fokus pada makanannya. Sativa hanya makan tanpa banyak bicara. Adiran juga melakukan hal yang sama. Akan tetapi, ia tidak berhenti membuang napas kasar.
Sativa menyelesaikan suapan terakhirnya, lalu ikut berdecak ringan. "Kenapa, sih?"
Adiran juga tidak tahu mengapa ia merasa kesal. Saat Sativa setuju menonton bersamanya, Adiran merasa bersemangat. Akan tetapi, saat mereka memasuki bioskop dan hendak membeli tiket, Sativa justru mengelilingi poster yang tertempel di dinding dan mencari informasi singkat mengenai beberapa film yang tayang selama lima belas menit. Setelah itu, ia kembali ke hadapan Adiran dan menggeleng kecil. "Nggak ada film yang menarik. Kalau makan atau ngopi aja gimana?"
Adiran memproses ucapan Sativa beberapa detik lantas berkata, "Dari mana lo tahu filmya nggak menarik kalau belum ditonton?"
"Tadi gue baca-baca sinopsisnya," balas Sativa, "lagian kan tadi lo juga ngasih pilihan."
"Pilihan? Pilihan apa?"
"Nonton atau makan," balas Sativa, "makan aja deh. Gue juga laper.
Meskipun merasa sedikit kesal, Adiran akhirnya setuju dan memilih restoran untuk makan. Dan di sinilah mereka sekarang. Aktivitas yang dilakukan Adiran dan Sativa hanya sebatas makan.
"Tiv," panggil Adiran, "lo di sini nggak cuma buat makan, kan?"
Sativa menaikkan alis. "Gue ke sini emang buat makan. Lo punya intensi lain?"
"Bukannya udah jelas banget, Tiv?" Adiran balik bertanya. "Gue kan seterbaca itu sama lo."
Sativa menggumam. "Nanti kalau gue nebak, lo bilang kepedean."
"Emang menurut lo intensi gue apa?" tanya Adiran.
Sativa terdiam beberapa saat, lalu meminum jus jeruk di hadapannya sampai habis. Adiran paham betul tatapan itu. Tatapan yang Sativa lontarkan saat ini seperti memancarkan laser yang memindai wajah dan ekspresi Adiran.
"Lo lagi berusaha ngedeketin gue, Ran?" tembak Sativa. Tanpa aba-aba. Tanpa basa-basi. Persis seperti apa yang biasa ia lakukan. "Lo mulai tertarik sama gue?"
Adiran mengerjap beberapa saat. Ia tahu Sativa selalu terus terang seperti ini. Akan tetapi, Adiran bahkan tidak menyangka bahwa Sativa akan bertanya tanpa ragu atau merasa malu.
"Apaan sih, Tiv," balas Adiran, "dari mana muncul hipotesis kayak gitu?"
"Dari variabel-variabel yang lo tunjukin lah."
"Emang variabel apa yang gue tunjukin?"
Sativa tertawa kecil--nadanya lebih ke arah mengejek Adiran. Persis kekehan tawa yang Sativa keluarkan saat pertama kali mereka berdebat.
"Perlu gue jelasin?" tanya Sativa retoris. "Tapi, kenapa harus gue yang ngejelasin perasaan lo, Ran?"
"Ya gue mau mengonfirmasi lah, Tiv, hipotesis lo itu bener apa salah."
"Oke. " Sativa membuang napas. "Gue persempit ke semua hal yang terjadi hari ini ya. Variabel bebasnya sikap gue. Pertama, sikap labil gue yang setuju buat nonton sama lo, tapi memutuskan untuk nggak jadi nonton sama lo karena menurut gue filmnya nggak ada yang menarik. Kedua, sikap gue yang mungkin baru lo lihat hari ini? Misalnya, sisi humanis gue yang lo lihat pas bantuin anak kecil tadi. Ketiga ... sikap gue yang berubah? Cenderung lebih pasif?"
Adiran terdiam. Jauh di dalam dirinya, Adiran merasa bergetar.
"Variabel terikatnya emosi lo. Hasilnya, semua sikap gue memengaruhi emosi lo." Sativa memberikan simpulan awal. "Lo kesel karena gue nggak mau nonton bareng sama lo. Alasannya? Ya mungkin karena lo kehilangan momen sama gue. Bioskop jauh lebih intim dari pada restoran. Lo juga merasa ada yang beda dari gue. Dan sama seperti gue, lo merasa terganggu. Mungkin gue nggak seburuk dan nggak sengeselin yang lo pikir. Efeknya? Hmm, gue belum tahu. Ada beberapa opsi. Kalau gue sendiri, sisi lain lo bikin gue merasa simpati, sih. Terakhir, dengan sikap gue yang sekarang cenderung pasif, lo merasa ada yang miss. Kalau ini udah jelas. Lo ngomong di damri tadi pagi. Sepertinya, omongon gue ke lo bertransformasi dari bentuk justifikasi ke arah afeksi. Meskipun omongan gue cenderung bikin ego lo terluka, di beberapa titik, lo merasa dipahami. Gitu, nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektiva
Fiksi UmumIni cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dosen, yang menggadaikan ungkapan agen of change sebagai alasan bolos kuliah, yang menyumpal telinganya...