"Pas dengar saya kena tembak, kamu gimana, Tiv?" Bumi membuka percakapan saat keduanya berada di Mealtime--minimarket semi kafe yang lokasinya tidak jauh dari indekos Sativa.
Tidak ada jawaban. Sativa hanya terdiam sambil menunggu dua cup pop mie di hadapannya matang. Selain itu, tangannya sibuk membuka obat merah dan plester yang dibeli di Mealtime. Sativa memperhatikan wajah Bumi, lantas membuang napas. Ia meletakkan obat merah di hadapan Bumi dan memberi isyarat agar Bumi mengoleskan obat merah itu di wajahnya.
"Nggak usah, Tiv," ujar Bumi, "lagipula, saya nggak tahu harus netesin obat merahnya di mana. Nggak kelihatan."
Mendengar itu, Sativa mengeluarkan ponselnya dan membuka kamera. Ia menghadapkan ponselnya ke hadapan wajah Bumi dengan fitur kamera depan agar laki-laki itu dapat melihat luka di pelipis kirinya.
Bumi tersenyum tipis. "Sepertinya, lebih sederhana kalau kamu yang pakein ya, Tiv?"
Sativa berdecak ringan dan meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Alih-alih menjawab pertanyaan Bumi, Sativa justru melirik pop mie di hadapannya dan hendak membukanya.
Sebelum melakukan itu, Bumi sudah terlebih dahulu membuka pop mie di hadapan Sativa, membuka bumbu dan memasukkannya ke dalam cup, lalu mengaduknya sampai rata. Setelah itu, Bumi juga membuka tutup air mineral milik Sativa dan meletakkan kembali ke tempatnya.
Sativa melirik Bumi. Laki-laki itu tersenyum kecil. "Ini bukan trik supaya kamu mau ngolesin obat ke pelipis saya, Tiv."
Sativa hanya mengernyitkan wajahnya. Tanpa menunggu lama, ia langsung memakan mi instan di hadapannya. Dari jarak sedekat ini, Bumi bisa melihat sudut mata Sativa masih berair. Perempuan itu sempat meneteskan air mata ketika Bumi mendekapnya beberapa saat yang lalu.
"Kak Bumi nggak akan makan?" tanya Sativa.
"Kamu belum jawab, Tiv," ujar Bumi, "gimana perasaan kamu waktu dengar saya kena tembak?"
Sativa terdiam, lalu mengangkat bahunya. "Yang saya rasain?" Sativa balik bertanya. "Rasanya sama waktu Bunda cerita soal perjuangan ayah dulu."
Bumi terdiam lagi. Setelah beberapa saat, ia akhirnya laki-laki itu bertanya. Sebuah pertanyaan yang sejak awal bertemu Sativa sudah terlintas di benaknya. "Jadi, kamu seperti melihat ayah kamu dalam diri saya, Tiv?"
Butuh waktu yang lama sampai akhirnya Sativa menangguk kecil. "Selama ini, sosok Ayah nggak begitu jelas di benak saya. Bunda selalu cerita tentang perjuangan Ayah, idealisme Ayah, sampai semua hal yang Ayah pertaruhkan waktu itu. Ketika saya dengar itu, saya nggak bisa membayangkan apa-apa. Tapi waktu saya lihat Kak Bumi, akhirnya perjuangan Ayah tergambar jelas di benak saya."
Bumi membuang napas. Jawaban Sativa menyempurnakan semua dugaan dan pemikirannya selama ini. Ia melihat Sativa kembali memakan mi dan meneguk air. "Tiv," Bumi memanggil Sativa lagi. Perempuan itu menoleh. "Kalau ayah kamu nggak berjuang, kalau latar belakang orang tua kita nggak bersinggungan, kalau kita nggak terluka dan resah sama hal yang sama ... berapa besar kemungkinannya kita ada di sini? Berapa besar kemungkinannya kamu nangis pas saya meluk kamu tadi? Berapa besar kemungkinannya kamu peduli?"
Sativa yang hendak memasukkan mi ke dalam mulutnya lantas terdiam. Ia menatap Bumi dalam-dalam, lalu setelah beberapa saat, ia menggeleng kecil. "Nggak akan ada kemungkinan apa-apa."
Setelah itu hening lagi. Sativa lanjut memakan mi instannya tanpa banyak bicara. Bumi juga akhirnya mulai membuka cup mi dan memakannya. Bersamaan dengan itu, benak Bumi kembali bergemuruh. Ia menjawab sendiri pertanyannya kepada Sativa dalam dirinya sendiri.
Buat saya, kemungkinannya sangat besar. Meskipun saya dan kamu nggak punya keresahan yang sama, nggak punya latar belakang orang tua yang sama, nggak punya perjuangan yang sama, saya akan tetap jatuh sama kamu, Tiv. Alasannya sesederhana tatapan kamu yang buat saya merasa punya rumah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektiva
Ficción GeneralIni cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dosen, yang menggadaikan ungkapan agen of change sebagai alasan bolos kuliah, yang menyumpal telinganya...