Enam tahun kemudian ...
"Halo, Zi, kayaknya gue agak telat. Macet banget."
Mizi mengangguk sambil menetralkan degup jantungnya. Sejak tadi, ia berdiri di depan cermin dan tidak berhenti melakukan senam wajah. Berusaha semaksimal mungkin agar tenang.
"Zi?"
"Iya, Tiv, nggak apa-apa," balas Mizi singkat.
"Belum mulai, kan? Lo masih di backstage?" tanya Sativa.
Mizi hanya mengangguk. Jelas saja, anggukan itu tidak dapat dilihat oleh Sativa. "Bentar lagi mulai, tapi dibuka sama opener dulu."
"Oke ... lo nervous?"
Mizi mengatur napasnya. "Rasanya gue bisa denger detak jantung gue sendiri, Tiv."
"Oke, oke," balas Sativa. "Santai aja, Zi. Jangan mikirin jokes-nya bakal lucu atau enggak. Yang penting all out dulu aja. Lagian, ini kan bukan pertama kali lo tampil stand up."
"Harus lucu, Tiv. Orang-orang beli tiketnya karena berharap ada sesuatu yang lucu. Mereka datang buat ketawa," balas Mizi. Ia merasakan tangannya gemetar kecil. "Terus, emang bukan pertama kalinya gue stand up, tapi ini show pertama gue, Tiv. Show pertama setelah gue balik ke Indonesia. Gila nggak tuh?"
"Zi ... mereka tuh penonton lo," ujar Sativa, "mereka datang mau nonton lo. Penonton lo tuh loyal. Apapun jokes-nya, kalau itu lo, mereka akan ketawa. Lo cuma napas aja mereka ketawa."
"Tiv--"
"Kan lo sendiri yang cerita, kalau berdasarkan data, tujuh puluh persen yang nonton lo itu emang penonton loyal lo. Yang ngikutin karya-karya lo. Alasan gue datang juga sama, Zi. Gue datang bukan mau nonton stand up, tapi nonton lo. Dan gue yakin, orang-orang yang beli tiket lo juga punya tujuan yang sama."
"Makasih, Tiv," balas Mizi, "makasih udah mau keluar bentar dari Malang buat nonton gue."
"Jangan kepedean. Gue ke sini bukan cuma mau nonton lo ya."
Mizi tertawa kecil. "Iya, Tiva. Santai. Tapi ... yah, pokoknya makasih udah bikin gue agak tenang."
"Makasih sama diri lo sendiri lah," balas Sativa, "good luck ya, Zi."
Mizi tersenyum kecil. "Iya deh ... makasih, Mizi," ujarnya pelan, "oh iya, lo ke sini sendirian?"
"Enggak. Gue sama Mas Kalan."
Mizi mengernyit. "Mas Kalan? Mas Kalan yang itu?"
"Iya. Mas Kalan yang itu."
"Oh ... oke-oke. Mas Kalan yang itu ya." Mizi mengulang lagi nama Kalan. "Ya udah deh. Hati-hati ya, Tiv."
"Iya."
Setelah itu, panggilan telepon ditutup. Degup jantung Mizi berpacu dua kali lebih cepat. Kekhawatirannya bukan lagi karena stand up, tetapi karena Sativa menyebut nama Kalan.
Di tempat lain, Sativa menutup panggilan telepon dan memasukkan ponselnya di dalam tas. Sativa melihat pemandangan jalanan Kota Bandung yang sudah enam tahun terakhir tidak ia lihat. Di kursi kemudi, Kalan tersenyum tipis. "Mas Kalan yang itu maksudnya gimana, Tiv?"
Sativa menoleh ke arah Kalan, lalu tertawa kecil.
"Kok ketawa? Kamu sering gosipin aku sama Mizi?"
"Iya. Kalau Mizi udah mulai follow up, saya langsung nyebut nama Mas Kalan." Sativa menjawab enteng. "Kalau udah gitu, dia jadi balik ke mode normal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektiva
Ficción GeneralIni cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dosen, yang menggadaikan ungkapan agen of change sebagai alasan bolos kuliah, yang menyumpal telinganya...