Batas

7.7K 1.5K 187
                                    

Dan ketika batas sudah ditetapkan,
yang bisa dilakukan hanya bernegosiasi dengan waktu,
berharap ia murah hati dan bisa mengubah garismu.

[ d i a l e k t i v a ]

"Tiv, jadinya mau latihan di mana?" Netta bertanya saat mereka berdua baru saja keluar kelas. Sativa dan Netta memang sudah sepakat untuk latihan debat karena seleksi debat fakultas akan diselenggarakan dalam dua hari lagi.

"Di mana aja, kecuali di kosan lo, kosan gue, atau kantin."

"Yah! Baru aja gue mau ngusulin di kosan lo, Tiv. Kenapa nggak di sana aja?"

"Nanti lo nggak akan fokus. Lo bakal merhatiin setiap sudut kamar kosan gue dan nanya banyak hal yang nggak penting."

Netta membelakkan mata. "Kok lo tahu rencana gue sih?!"

Sativa hanya mengangkat kedua bahunya. Netta kembali berdecak ringan. "Kalau gitu ke kosan gue aja ya?"

"Enggak. Di jam-jam segini, yang ada lo malah tidur." Sativa menggeleng tegas. "Lagian, kita nggak sedeket itu sampai harus mengunjungi kosan satu sama lain."

Langkah Netta terhenti. "Tiv, beberapa hari terakhir kita udah deket, lho! Kita udah ngobrol, chatting-an, bahkan pas pemilihan ketua kelas lo memuji gue. Lo bilang elektabilitas gue tinggi dan bahkan lo bilang jadi tim sukses gue! Meskipun ujung-ujungnya lo milih Rein, sih. Kenapa coba lo malah milih Rein? Penebar dusta lo!"

Sativa ikut berhenti dan menatap Netta lekat-lekat. "Hati-hati milih diksi, Ta. Lo paham apa tentang kata dusta? Di KBBI, dusta tuh artinya bohong. Apa gue bohong pas bilang elektabilitas lo tinggi? Enggak. Gue serius pas bilang lo punya potensi. Kebukti juga kan, suara lo lumayan banyak, bahkan di atas Ninda. Dan harusnya lo memaknai tim sukses nggak sekadar ngasih suara. Gue bukan jadi tim sukses buat bikin lo jadi KM, tapi buat bikin lo percaya diri. Dalam hal itu, gue sukses, kan?" Sativa memperhatikan raut wajah Netta berubah. Setelah itu, ia kembali berjalan menyusuri koridor fakultas menuju lift. Netta mengikuti langkah Sativa dari belakang. Sambil menuggu lift terbuka, Sativa kembali meneruskan ucapannya. "Di hari itu, untuk pertama kalinya gue lihat lo percaya diri. Maksud gue, bukan percaya diri kayak yang biasanya lo tunjukin pas bikin video di Youtube, tapi percaya diri dalam mengutarakan pendapat lo sendiri."

Saat Sativa sudah sempurna dalam menebak isi pikiran dan hatinya seperti ini, Netta tidak bisa melakukan apa-apa selain diam, kemudian mengalihkan ke topik lain. "Lo sama Adiran kenapa, Tiv?"

"Kenapa apanya?"

"Tadi di kelas, beberapa kali gue lihat Adiran merhatiin lo, tapi lo sekalipun nggak ngelihat dia. Padahal beberapa hari terakhir, lo getol banget merhatiin Adiran. Pokoknya gue manangkap ada aroma perang di antara kalian berdua. Lo ribut lagi sama dia?"

Sativa menggumam. Sejak membaca pesan Adiran kemarin, Sativa sudah memutuskan untuk menurunkan atensinya terhadap laki-laki itu. Sebisa mungkin, Sativa akan berusaha untuk tidak terlibat secara emosional dengan dunia Adiran. Hal itu ia mulai sejak hari ini. Sativa tidak melirik laki-laki itu, memikirkan ucapan Adiran yang ia dengar, serta memainkan intuisinya.

"Bisa ngomongin yang lain aja nggak?"

"Ah, kalau gitu kita ngomongin Kak Bumi aja!" Netta berseru kencang tanpa memedulikan barisan mahasiswa yang mengantre di depan lift. Setelah menyadari teriakannya membuat suasana hening seketika, Netta memaksakan tawanya dan mengucapkan maaf kepada mahasiswa yang baris di belakangnya. Netta maju selangkah karena menyadari sebentar lagi lift akan sampai di lantainya. "Jadi, gimana Kak Bumi? Lo udah nge-chat dia belum? Gue masih nggak ngerti ya kenapa Kak Bumi langsung left gitu aja. Nggak sopan banget! Harusnya Kak Bumi jangan ...."

DialektivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang