Peluk

4.5K 1K 94
                                    

Sativa menatap namanya yang tertulis tepat di bawah nama Adiran di papan tulis kelas. Beberapa waktu yang lalu, dosen mata kuliah Studi Wacana Bahasa Indonesia membagi kelompok untuk penugasan proposal Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM). Terdapat tiga belas kelompok yang rata-rata terdiri atas tiga orang. Hanya ada dua kelompok sisa yang terdiri atas dua orang. Salah satu kelompok itu diisi oleh Sativa dan Adiran. Dengan sistem undian, dipimpin oleh Adiran sebagai penanggung jawab mata kuliah tersebut, dari banyak kemungkinan kelompok lainnya, semesta membuat Adiran dan Sativa berada dalam kelompok yang sama.

"Kayanya dunia lo akhir-akhir ini berputarnya di Kak Bumi sama Adiran terus ya, Tiv?" tanya Netta--ikut menatap papan tulis bersama Sativa. Teman-teman sekelasnya yang lain sudah keluar sejak sepuluh menit yang lalu. Sativa masih berdiam diri di kelas untuk menuntaskan beberapa lembar novel bacaannya. Sementara itu, Netta hanya menunggu dan mengikuti Sativa.

"Eh, tambah Mizi satu lagi," celetuk Netta, "lo beneran ke Jogja sama Mizi, Tiv?"

"Kan gue udah bilang, Ta, nggak direncanain."

Netta menggumam pelan. "Terus lo udah ngapain aja sama Mizi?"

Pertanyaan itu membuat Sativa melirik ke arah Netta, lalu menyipitkan matanya. "Apaan sih, Ta," tukas Sativa sambil berjalan keluar kelas. "Dari tadi lo kepoin perjalanan gue ke Jogja terus. Lo jealous, Ta?"

"Iya, gue jealous!" jawab Netta setengah berteriak. Sativa kembali melirik Netta dengan kernyitan di dahinya. "Eh, pikiran lo jangan liar ya, Tiv. Gue tuh bukan jealous karena suka sama Mizi. Amit-amit! Bukan tipe gue kali, Tiv. Gue tuh jealous karena dia bisa seneng-seneng sama lo di Jogja. Bagian sama gue, lo selalu nolak kalau diajak jalan bareng!"

"Siapa yang seneng-seneng sih, Ta," jawab Sativa. "Menurut lo, emangnya gue seneng nonton stand up setelah nontonin makam ayah gue?"

"Eh, sori, Tiv ...."

Keduanya kembali berjalan menuju lift. Setelah hening beberapa saat, Netta kembali membuka suara. "Tiv, lo bener-bener nggak mau nengok Kak Bumi?" tanya Netta untuk yang ketiga kalinya.

Respons Sativa tetap sama. Perempuan itu hanya menggeleng kecil dan menutup mulutnya. Ini sudah hari ketiga sejak nama Bumi selalu memenuhi ruang obrolan di setiap grup--baik di kalangan mahasiswa atau dosen. Sejak aksi demo tiga hari yang lalu, seruan aksi susulan kembali menggema. Sebagai sosok yang ditokohkan di kampus, berita ditembaknya Bumi hingga kritis membuat gerakan ormawa di kampus kembali menunjukkan taringnya. Aksi susulan juga diinisiasi oleh aliansi BEM SI. Pekan depan, akan ada aksi susulan atas gugurnya dua mahasiswa dan beberapa mahasiswa yang terkena luka parah hingga kritis.

"Tiv." Netta memanggil Sativa sekali lagi. Kali ini ia berdiri di depan Sativa dan menghalangi langkah perempuan itu. "Gue tanya sekali lagi ya, lo beneran nggak mau lihat kondisi Kak Bumi?"

Sativa membuang napas. "Buat apa?" tanyanya dengan suara parau. "Emang gue
sedekat apa--"

"Lo sedeket itu, Tiv, sama Kak Bumi!" potong Netta. "Gue aja nyadar, Tiv! Ya elah! Kenapa sih lo? Emangnya lo nggak khawatir, Tiv? Gengsi? Atau kenapa?"

Sativa masih diam.

"Gue aja khawatir sama kondisi Kak Bumi--"

"Lo beneran khawatir apa cuma penasaran, Ta?" potong Sativa.

"Ya ... khawatir kan awalnya dari penasaran, Tiv ...." Netta menjawab pelan ketika tatapan Sativa mengarah telak di iris matanya. "Maksud gue ... gue aja yang bukan siapa-siapanya Kak Bumi--"

"Emang gue siapanya Kak Bumi sih, Ta?" potong Sativa. Ia membuang napas pendek lantas melanjutkan ucapannya. "Udah ya, Ta. Jangan bahas Kak Bumi lagi. Gue capek dengernya."

DialektivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang