Kala kusampai di hatimu
yang kutemui pintu berdebuAku tak akan masuk
aku hanya ingin mengetuk[ d i a l e k t i v a ]
Sativa Airish Cantigi
Bun, Tiva di kereta. Tiva pulang.Setelah mengirim pesan kepada bundanya, dari balik jendela kereta, mata Sativa fokus menatap rentetan warna yang berpadu di langit. Rasanya, sudah lama ia tidak menengadahkan wajah untuk melihat mahakarya Tuhan yang orang-orang sebut sebagai momen paling indah. Sativa tidak memiliki impresi apa-apa tentang segala hal yang seharusnya putis dan romantis. Tetesan hujan dan aroma petrikor tidak menariknya pada satu masa tempat ia bisa berkawan dengan kenangan. Denting piano dan petikan gitar tidak memanjakan telinganya dan membuat hatinya bergetar. Pun senja yang sering dijadikan objek menyuarakan hasrat pada dada setiap insan. Ia tidak punya kenangan apa-apa pada hujan, denting piano dan petikan gitar, atau semburat jingga dengan warna indahnya.
Sativa membuang napas, lantas membuka gawainya yang bergetar. Ada panggilan masuk dari Aruni, bundanya.
"Halo, Bun." Sativa mengangkat panggilan dari Aruni. Matanya masih menatap senja yang menggantung di langit.
"Kamu beneran pulang?" Aruni bertanya kaget. "Emang kuliahnya libur, Tiv? Ini bukan akhir pekan dan kayaknya bukan tanggal merah juga deh."
"Kampus meliburkan Tiva, Bun," balas Sativa sambil menghela napas pendek. "Tiva diskors. Sepekan."
Ada hening yang cukup lama sampai Aruni bertanya, "Kamu habis melakukan hal hebat apa?"
Sativa terdiam. Ingatannya kembali ke hari kemarin ... lalu mundur beberapa waktu sebelumnya. Saat ia pertama kali mendebat Adiran, saat ia berbincang dengan Bumi, saat ia berdiskusi dengan Mizi, saat pemilihan ketua kelas, saat duduk di kursi auditorium, sampai saat ia menyenandungkan lagu "Darah Juang" hingga menangis dan merengkuh Bumi. Harusnya gue nggak melalukan semua itu, bisik Sativa pada dirinya sendiri.
"Nggak hebat sama sekali," jawab Sativa pelan, "Tiva cuma sok hebat. Dan Tiva baru sadar kalau itu payah banget."
Aruni terdiam cukup lama. "Yang diliburkan kamu sendiri aja atau ...?"
"Yang satu lagi diliburkan permanen," balas Tiva. Ucapan Bu Agni dan beberapa dosen lain terekam jelas dalam ingatannya. Kemarin, di ruang dosen, samar-samar Sativa mendengar bahwa Bumi Barameru akan benar-benar dikeluarkan dari kampus. Dosen wali Sativa menceramahi perempuan itu selama setengah jam lebih. Sativa hanya mendengarkan, tidak menjawab apa-apa. Mulut Sativa baru terbuka saat dosen walinya hendak menelepon Aruni. Sativa menggeleng dan mengatakan bahwa akan memberitahukan bundanya sendiri. Setelah itu, Sativa keluar dengan langkai gontai sambil menatap secarik kertas yang Bumi berikan. Ia sempat menelepon Bumi, tetapi gawai laki-laki itu tidak aktif. Dan sampai saat ini, Sativa belum mendengar kabar apapun dari Bumi.
"Oke ... kalau gitu, hati-hati di jalan ya, Tiv. Bunda siapin masakan dulu buat kamu."
"Bunda nggak mau tanya Tiva ngapain di kampus sampai diskors begini?"
"Tadi kan Bunda udah tanya, 'Kamu melalukan hal hebat apa?' Tapi kamu jawabnya kamu melakukan hal yang payah. Jadi ... ya udah," jawab Aruni diselingi tawa kecil. "Apapun itu, Bunda coba mengerti kamu, Tiv. Kamu perempuan yang smart. Nggak mungkin kamu melakukan hal-hal yang nggak ada dasarnya. Lagipula, selama ini kamu sudah terlalu lama menahan."
Sativa mengangguk kecil. "Makasih, Bun."
"Kenapa kamu makasih ke Bunda?"
"Tiva harus makasih ke siapa lagi kalau bukan ke Bunda?"
![](https://img.wattpad.com/cover/149410132-288-k592832.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektiva
قصص عامةIni cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dosen, yang menggadaikan ungkapan agen of change sebagai alasan bolos kuliah, yang menyumpal telinganya...