"Tiv, beres ini ke Bakso Mercon yuk," seru Netta di tengah-tengah evaluasi latihan pergelaran drama. Netta menunjukkan ponselnya ke hadapan Sativa dan membuka aplikasi Instagram. "Baru buka, nih, Tiv. Gratis. Cuma diminta follow sama share poster doang."
Sativa melirik ponsel Netta, lalu menatap perempuan itu. Sativa melihat ekspresi Netta tidak seantusias biasanya. Biasanya, di saat-saat seperti ini, Netta sedang butuh teman bicara. "Boleh."
"Dih, langsung mau lo, Tiv?" Netta bertanya dengan alis naik satu. "Tumben banget lo, Tiv. Biasanya sibuknya ngalahin artis."
"Ya udah nggak jadi."
"Eh! Enggak dong!" teriak Netta--membuat seluruh teman sekalasnya yang sedang duduk melingkar di Taman Widipa menatap ke arahnya. Tak terkecuali Adiran. Laki-laki yang sedang memaparkan progres pergelaran itu langsung menatap sebal ke arah Netta.
"Bisa nyimak dulu nggak, Ta?" tanya Adiran dengan nada sinis.
"Siap, Pak Pimpro! Dari tadi juga gue nyimak kali."
"Coba jelasin ulang tadi gue ngomong apa."
"Hah?" Netta kebingungan. Sejak tadi, ia hanya fokus menatap layar ponsel. Menggulir feed Instagram atau kanal Youtube-nya. Netta melirik ke arah Sativa, memberi kode agar perempuan itu memberi tahu Netta apa topik pembahasan Adiran.
Sativa mengangkat wajah, lalu berdecak ringan. "Dari sepuluh menit yang lalu, Adiran berkali-kali bilang kalau kita harus serius ngegarap pementasan karena di hari-H nanti bakal datang walikota."
"Oh ... HAH?!" Perubahan respons itu membuat Netta terkejut. "Demi apa sih bakal ada walikota datang pas kita pementasan?!"
Adiran yang sejak tadi menjelaskan berdecak kesal. "Makanya fokus, Ta. Bisa menghargai--"
"Iya, iya, iya. Sori, Ran." Netta memotong ucapan Adiran karena sudah mengetahui dengan jelas apa yang akan laki-laki itu sampaikan. "Oke, gue mau nyimak dengan serius nih. Bisa diulang?"
Adiran berdecak. Sekali lagi mengumumkan kepada rekan sekelasnya bahwa sepekan lagi, tepat di pementasan drama, Bapak Walikota akan datang. "Mungkin kalian juga udah lihat poster acaranya. Tujuan utama kedatangan walikota di sini sebenernya buat hadir sebagai pembicara Ruang Suara Goes to Campus. Terus, dari pihak prodi kita mau mengusulkan proyek pembangunan gedung teater pertama dan terbesar di lingkungan kampus. Prodi semacem ngasih trailer produk yang bakal dirilis dengan melihat pementasan drama kita. Dan beliau setuju buat lihat dua pementasan. Kelas kita terpilih buat ditonton sama beliau. Jadi, gue harap kalian maksimalin pergelaran ini dengan sebaik-baiknya, ya. Kita bawa nama almamater juga. Pak Rino udah menekankan ke gue berkali-kali supaya semuanya sesuai sama latihan kita selama ini dan ter-deliver dengan baik."
Netta mengangguk kecil, tapi setelahnya bertanya. "Tapi ... kalau emang tujuannya buat nunjukkin pementasan drama yang bagus, kenapa nggak minta anak UKM Lakon yang main aja? Mereka lebih pro nggak sih?"
Adiran hendak menjawab, tapi setelahnya bungkam. "Bukan urusan kita. Yang penting, kita lakuin aja yang terbaik buat pementasan drama ini. Gue mau semuanya nggak menganggap ini event yang sepele karena bagian dari mata kuliah aja. Semua harus attention to detail, ya. Zero mistake. Kejar semua ketertinggalan. Gue minta mulai hari ini setiap ketua divisi ngasih daily report progres timnya ke gue. Semua orang juga punya tugas buat sebar proposal. Semuanya gerak."
Semua orang yang mendengarkan ucapan Adiran hanya mengangguk kecil. "Tim pementasan juga laporan ke gue ya."
Semua orang hampir mengangguk. Setelah menyampaikan semua informasi dan hasil evaluasi, Adiran menutup sesi latihan pergelaran hari ini. Semua orang di Taman Widipa beranjak pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektiva
Fiksi UmumIni cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dosen, yang menggadaikan ungkapan agen of change sebagai alasan bolos kuliah, yang menyumpal telinganya...