Usik yang membuatku tertarik:
kamu.
[ d i a l e k t i v a ]
"Tiv, Tiv! Kayaknya gue mundur dari debat deh!"
Sativa yang baru saja duduk di kursi kelasnya langsung menatap Netta. Sambil mengeluarkan novelnya dari tas, Sativa membuka lembaran terakhir yang ia baca. Sejujurnya, Sativa sudah menduga Netta akan mengundurkan diri. Ia sudah mengenal perempuan itu selama tiga semester. Dari hasil pengamatan Sativa, ia cukup yakin bahwa Netta tidak pernah konsisten dengan keputusan yang ia ambil.
"Tiv!" Netta berseru sekali lagi.
"Iya, gue denger," balas Sativa tanpa melirik Netta. "Baru kayaknya apa udah fix?"
Netta menggumam. "Bentar, bentar, gue pikirin dulu, ya!" balas Netta. Sativa hanya mengangguk. Lima detik kemudian, Netta kembali bersuara. "Udah fix, Tiv! Barusan gue udah pikirin baik-baik. Gue fix nggak ikut!"
Sativa menoleh. "Lo ngambil keputusan cuma dalam waktu lima detik?"
"Iya. Kalau bisa cepet, ngapain harus lama?" Netta balik bertanya. "Tapi bentar, lo ngitungin berapa lama gue mikir?!"
Sativa mengangguk. "Kenapa lo mau mundur, Ta?"
"Setelah gue berkontemplasi semalaman, gue sadar kalau nggak ada gunanya gue ikut. Maksudnya, gue nggak benar-benar mau. Gue nggak suka debat-debat yang bikin otak dan hati panas juga. Terus gue mikir, ngapain gue melakukan sesuatu yang nggak gue suka?" jawab Netta. Sativa hanya mendengarkan. "Eh, barusan gue kedengeran keren nggak, Tiv?"
Untuk merespons pertanyaan Netta, Sativa hanya memaksakan tawanya.
"Terus ... gue juga mikir otak gue kayaknya nggak nyampe deh. Ditambah kita juga belum pernah latihan! Gue itu pembelajar yang lambat, Tiv. Gue nggak bisa berimprovisasi."
Sativa berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Ya udah. Gue juga nggak tertarik. Tim kita mundur aja."
"Jangan!" Lagi-lagi teriakan Netta membuat beberapa mahasiswa yang sudah hadir di kelas menoleh. Netta tertawa kecil dan memamerkan senyumnya. Kondisi kelas hari ini cukup ramai, seharusnya kelas sudah dimulai sejak tadi. Akan tetapi, dosen yang memasuki kelas belum kunjung datang. Adiran yang sedang berdiskusi bersama Rein dan Ninda ikut menoleh. "Jangan, Tiv ... lo kan dipilih langsung sama Bu Agni."
"Ya terus partner gue siapa?"
"Kak Bumi gimana?" Netta bertanya dengan suara yang lebih kecil. "Kemarin lo ngobrol sama Kak Bumi di rooftop, kan? Gimana hasilnya? Dia bilang apa? Dia setuju ikut?"
Sativa teringat kembali momen bersama Bumi kemarin sore di rooftop fakultasnya. Pembicaraan mereka selesai begitu saja saat Bumi berkata akan bernegosiasi dengan waktu. Sampai sekarang, Sativa belum tahu apa yang sebenarnya ingin Bumi bicarakan. Bumi langsung pamit dan berkata harus segera menghadiri rapat UKSP. Sebelum Bumi benar-benar meninggalkan rooftop, Sativa sempat bertanya untuk mengonfirmasi keikutsertaan Bumi dalam tim debat. Laki-laki itu hanya menjawab, "Kalau kamu mengubah sedikit batasnya, mungkin saya pikirkan lagi untuk ikut, Tiv."
"Tiv?"
"Kak Bumi juga nggak akan ikut," jawab Sativa. "Ya udah nanti gue ke ruangan Bu Agni buat bilang kalau tim gue nggak jadi ikut debat."
"Yaelah! Jangan, Tiv!" Netta bersikeras menentang keputusan Sativa. "Gue cariin partner yang lain gimana? Lumi gimana? Atau Ulfa? Gue juga ada kenalan anak kelas B yang jago ngomong, Tiv! Gimana? Gue chat satu-satu dulu, ya! Bentar, bentar! Kayaknya--"

KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektiva
General FictionIni cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dosen, yang menggadaikan ungkapan agen of change sebagai alasan bolos kuliah, yang menyumpal telinganya...