Setiap sunyi memiliki cara sendiri untuk bersuara. Dan bahkan saat suara itu tak terdengar, bukan berarti ia tak ada. Ia hanya memilih kepada telinga siapa sunyinya akan berbunyi dan berhenti sembunyi.
[ d i a l e k t i v a ]
"Mohon perhatiannya sebentar kawan-kawan. Jangan pada pulang dulu karena kita harus nentuin ketua kelas sama PJ mata kuliah!" Seruan Ninda membuat tiga puluh tujuh mahasiswa yang baru saja melebarkan senyum karena kelas sudah usai menekuk wajahnya kembali. Seisi kelas sudah lelah karena hari ini mereka dihajar sembilan SKS, full class dari pukul tujuh pagi hingga empat sore. Selain itu, dosen terakhir yang mengajar dengan semangat yang memberi memberi perkuliahan melebihi waktu yang seharusnya. Meskipun hampir sembilan puluh persen mahasiswa di kelas ingin segera pulang dan protes, akhirnya mereka duduk kembali-tidak ada satu pun yang berjalan menuju pintu. Apalagi setelah Adiran maju ke depan kelas dengan membawa spidol dan mengeluarkan satu-dua kalimat pembuka bernada bijaksana seperti biasanya.
"Gue tahu kalian semua capek dan pengen cepet pulang, tapi kalau ketua kelas dan PJ matkul nggak ditentuin hari ini, urusan administrasi kuliah nggak akan beres. Kalau udah gitu, nanti kita-kita juga yang bakal repot. Jadi, gue mohon kerja sama kalian, ya. Sebentar aja, kok."
Sativa tidak banyak protes. Ia kembali duduk di tempatnya dan meneruskan gambarnya yang belum selesai. Alasan Sativa masih duduk di sana bukan karena ia serius mengikuti pemilihan ketua kelas ini. Ia sudah bisa menebak dengan jelas apa yang akan terjadi. Sativa hanya ingin duduk, "membaca" orang-orang di sekitarnya, agar ia bisa lebih jeli dalam memilih siapa yang akan ia izinkan berada dalam domainnya.
Di sebelah Sativa, Netta menggerutu. "Ini yang bete bukan cuma gue doang kan, Tiv?!"
Sativa mengangguk. Tangan dan matanya fokus menggambar sketsa sebuah rumah kecil di pedesaan.
"Apa pentingnya nentuin ketua kelas kalau ujung-ujungnya kita udah tahu siapa yang bakal jadi?" keluh Netta. Sativa refleks menoleh ketika mendapati nada bicara Netta terdengar lebih pelan-lirih daripada biasanya. Meskipun ia tidak begitu dekat dengan Netta, tapi karena perempuan itu selalu mendekati Sativa selama tiga semester terakhir, Sativa cukup memahami Netta. Ia memperhatikan ekspresi Netta dan meskipun ia benci melakukakannya, ia terpaksa menyerap emosi perempuan itu. Netta menyandarkan kepalanya ke dinding. Sativa tahu Netta lebih dari sekadar lelah. Sama seperti pertama kali diadakannya pemilihan ketua kelas di semester satu, Sativa bisa menangkap bahwa Netta merasa kalah. Kalah dari sosok Adiran dan Ninda.
Sativa kembali meneruskan gambarnya, lantas bertanya, "Emang menurut lo siapa yang bakal jadi KM?"
"Ya kalau nggak Adiran berarti Ninda. Siapa lagi?" jawab Netta, "tapi, siapa juga yang peduli?"
Sativa menoleh. "Lo peduli."
"Enggak."
"Iya."
"Engga, Tiv."
"Iya."
"Gue bilang enggak!" Penyangkalan Netta yang begitu kencang mengintrupsi Adiran yang sedang bertanya siapa yang ingin mengajukan diri menjadi ketua kelas. Pandangan Adiran langsung mengarah kepada Netta dan Sativa.
"Kalian berdua bisa diam dulu nggak? Setidaknya kalau nggak menghargai gue dan Ninda yang lagi ngomong di depan, kalian hargai teman-teman yang ngedengerin."
Biasanya Netta akan merespons ucapan seperti itu dengan tawanya yang dipaksakan dan setelahnya ia akan menjelaskan panjang lebar-membuat alibi. Akan tetapi, Netta hanya menghela napas pendek, kemudian membalas ucapan Adiran dengan, "Sori."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektiva
Ficción GeneralIni cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dosen, yang menggadaikan ungkapan agen of change sebagai alasan bolos kuliah, yang menyumpal telinganya...