Matilah engkau mati.
Engkau akan lahir berkali-kali.[Penggalan puisi hadiah ulang tahun dari Soetardji Calzoum Bachri untuk penulis Laut Bercerita, Leila S. Chudori. Puisi ini ditulis berulang kali di dalam novel tersebut.]
[ d i a l e k t i v a ]
Sejak memasuki kelas ini, Bumi tidak bisa berhenti menatap Sativa. Selama perkuliahan berlangsung, mata perempuan itu hanya mengarah kepada dua hal: papan tulis dan novel Laut Bercerita yang dipinjam Sativa tiga hari yang lalu dari sekretariat UKSP. Bumi tidak pernah memandang seseorang lebih dari tiga detik. Kalaupun ia melakukannya, alasannya hanya satu: mengancam.
Akan tetapi, kepada Sativa lah pandangannya selalu bermuara. Ia tidak tahu sejak kapan ia merasa bisa beristirahat hanya dengan menatap ke dalam mata Sativa. Mungkin sudah dimulai sejak pertama kali Bumi memasuki kelas ini, tepat ketika Sativa memilihnya dalam tim debat yang sama. Mungkin saat Sativa berkata bahwa intensinya adalah membuat orang-orang memandang Bumi dengan cara yang berbeda. Mungkin saat Sativa jelas-jelas memberinya sekat dan batas di rooftop saat itu. Atau mungkin ... di auditorium fakultas saat ia menatap Sativa yang tengah memberikan argumentasi dan menyenandungkan lagu sesakral Darah Juang.
Bumi tidak tahu. Ia benar-benar tidak tahu mengapa Sativa bisa semagis ini. Yang Bumi tahu hanya satu: bahwa setiap kali ia menatap Sativa, ia merasakan bisa beristirahat dan menatap pantulan dirinya yang tenang di sana.
"Tiv," ujar Bumi pelan. Sativa yang duduk dengan jarak satu kursi kosong dari tempat Bumi mengangkat wajahnya dan menoleh. Kursi baris belakang hanya terisi empat orang dan semuanya duduk dengan jarak tertentu sehingga Bumi bisa sedikit leluasa berbicara. "Kenapa waktu di audit, kamu kepikiran nyanyi Darah Juang?"
Sativa hanya membuang napas, kemudian kembali membaca novel. "Itu cara paling gampang buat meraih simpati orang-orang."
"Jadi kamu melalukan itu untuk dapat simpati orang-orang?" tanya Bumi.
"Ya buat apalagi?"
"Terus air mata kamu juga keluar untuk alasan yang sama?" Bumi bertanya heran. "Untuk meraih simpati orang-orang?"
Sativa menutup novel yang ia baca, kemudian fokus menatap papan tulis. Di depan, Pak Rino, dosen mata kuliah pergelaran, sedang menjelaskan materi dasar pementasan drama.
"Saya merasa kamu menangis bukan karena itu," kata Bumi. "Apa kamu menangis karena merasa kasihan sama saya? Atau ... karena kamu punya beban yang sama beratnya seperti saya?"
Sativa masih bergeming. Melihat respons itu, Bumi memutuskan untuk tidak mengharapkan jawaban apa-apa dari Sativa. "Sekacau apapun kondisi saat aksi, saya nggak pernah jatuh, Tiv. Semua kawan saya bilang kalau ada penyangga di kedua kaki saya sampai saya kuat berdiri dan bertahan selama berjam-jam," ujar Bumi. "Tapi hari itu, cuma karena dengar suara kamu, lalu melihat mata kamu yang ikutan sayu ... saya ambruk, Tiv. Di telinga saya, itu lebih dari sekadar nyanyian. Itu terdengar seperti nyanyian pengantar tidur. Saat itu, saya merasa dipeluk erat dan bisa beristirahat."
Bumi melirik Sativa sekali lagi. Perempuan itu masih sama seperti sebelumnya. Ia hanya terdiam dan sibuk menatap ke arah papan tulis. Tapi dari yang Bumi bisa lihat, pandangan mata Sativa juga tidak benar-benar tertuju ke sana.
Fokus Bumi beralih saat Pak Reno mulai membicarakan progres persiapan pergelaran. "Bagaimana progres di kelas ini? Tim pementasan dan pergelaran sudah dibentuk?" tanya Pak Rino bertanya setelah selesai menjelaskan materi dasar pementasan drama.
Di kursi paling depan, Adiran langsung menjelaskan progres yang sudah dilakukan tim produksi. "Tim produksi sudah dibentuk, Pak. Prioritas pekan ini draft kasar proposal dan list sponsor. Divisi acara belum bisa bergerak karena menunggu panitia gabungan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektiva
قصص عامةIni cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dosen, yang menggadaikan ungkapan agen of change sebagai alasan bolos kuliah, yang menyumpal telinganya...